Essay ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Mass Media and Pop Culture di Victoria University of Wellington. Saya tahu, sudah ada banyak analisis tentang fenomena flex culture di media sosial. Tapi sepanjang yang saya tahu, belum ada yang menganalisis seperti yang saya buat dalam tulisan ini. Biasanya analisis yang sudah ada berhenti pada …
I wrote
16 RESULTSBahagia
Setiap manusia pasti ingin bahagia. Bahkan kebahagiaan menjadi salah satu tujuan hidup, setidaknya bagi saya. Bahagia tidak berkorelasi dengan kekayaan atau harta yang kita punya, karena banyak kan orang kaya yang hidupnya tidak bahagia. Lalu, kebahagiaan bergantung pada apa? Pada banyak hal sih menurut saya, tapi satu kunci kebahagiaan adalah rasa bersyukur dan merasa cukup dengan apa yang kita miliki.
Kali ini saya ingin bercerita tentang kebahagiaan Ibu. Sebagai “jantung” keluarga, Ibu punya peran penting yang akan berimbas pada seluruh keluarga, termasuk mood dan kebahagiaan seluruh anggota keluarga.
Ibu Era Kekinian Ngga Boleh Gaptek
Keluarga adalah tempat pendidikan pertama anak. Sejak zaman dahulu hingga detik ini, norma tersebut tidak berubah. Melalui keluargalah, nilai-nilai kebaikan ditanamkan sejak dini. Karena itu, sebagai orang tua wajib bagi kita untuk menjadi pintar dan selalu mengikuti perkembangan zaman.
Berpuasa Panjang di Negeri Drakula*
Angin dingin yang membawa serbuk bunga telah berlalu. Bunga tulip yang mekar telah berganti dengan merekahnya bunga mawar. Saatnya menggantung mantel dan mengeluarkan baju yang lebih tipis dari lemari. Musim semi perlahan mulai menjauh di Bucharest, kini matahari musim panas sudah datang.
Kepindahan dari Karachi ke Bucharest
Tuhan bekerja dengan cara yang ajaib. Dia akan tetap mengingat cita-cita lama yang kita catat, meski kita sendiri lupa akan mimpi itu. Sedikit cerita dari saya, untuk sekadar mengingatkan agar tetap bermimpi.
Satu Hari di Sunday Bazaar
Sunday Bazaar selalu menarik perhatian saya. Pasar loak raksasa ini selalu menyenangkan untuk dijelajahi. Perjalanan belanja saya pada hari Minggu lalu, ternyata membawa pada petualangan baru. Hari itu, saya bertemu dengan seseorang yang istimewa. Seorang Hazara yang membawa dagangannya dari negeri para Mullah. Negeri yang dengan mendengar namanya saja telah membuat kita bergidik: Afganistan.
Pagi Tak Lagi Sama di Pakistan
Awalnya saya pikir, hari itu adalah hari yang biasa dan diisi dengan berbagai kegiatan rutin. Namun saya belum tahu, betapa beruntungnya saya dapat menjemput Shirin dalam keadaan ceria siang itu. Karena di ujung utara Pakistan, di tanah yang sedang sama-sama kami pijak, ratusan orang tua murid lain sedang menangisi kepergian anak-anak mereka.
Dua Minggu Tanpa Shampoo
Eksperimen untuk hidup tanpa shampoo sudah berjalan selama 2 minggu, yang terasa sangaaat panjang. Mungkin ini percobaan yang terlihat aneh, buat apa sih repot-repot ngga pake shampoo? Kan hidup sudah difasilitasi dengan berbagai kemudahan, termasuk untuk membersihkan rambut. Tinggal beli di supermarket dengan harga yang terjangkau, pakai shampoo, lalu rambut bersih, indah dan wangi. Ya, seandainya memang sesederhana itu, tentu hingga hari ini saya masih tetap memakai shampoo. Tapi masalahnya, memakai shampoo tidak seindah seperti yang ada di iklan.
Pohon Ketapang Dubes Lutfi Rauf
“Dulu disitu ada pohon Ketapang tapi udah mati, 80 tahun (usia) pohon itu” ujar Duta Besar RI untuk Kerajaan Thailand, M. Lutfi Rauf, sambil menunjuk ke arah sebuah lokasi pohon yang terletak di halaman belakang yang luas dari Wisma Indonesia yang berlokasi di pusat kota Bangkok. “Tapi sekarang pohon mati bisa hidup lagi Pak Konjen,” selorohnya sambil tersenyum kecil kepada Konjen RI di Karachi dan saya.
Perkenalan dengan Karachi
Bom, pembunuhan berencana, penculikan, penembakan dan hal-hal jelek berkecamuk di kepala saya saat saya menerima keputusan penugasan yang di Kementerian Luar Negeri, yang kami kenal dengan ‘slip merah’. Sama sekali sulit untuk memikirkan hal-hal baik tentang Karachi. Kota yang saat itu akan saya tuju untuk menjalani penugasan pertama sebagai diplomat.