Kuliah Magister di Victoria University of Wellington:
Refleksi Akhir Trimester 1

Sejak lulus S1 di tahun 2006, saya selalu punya cita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang magister. Waktu itu rencana saya setelah lulus adalah bekerja selama kurang lebih tiga tahun, kemudian mencari beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Mengapa bekerja dulu dan tidak langsung lanjut kuliah? Karena rata-rata beasiswa mewajibkan kita memiliki pengalaman kerja sekitar tiga tahun, untuk kemudian bisa mengajukan diri untuk mendapatkan beasiswa.

Mengapa harus kuliah di luar negeri? Karena saya sudah S1 di Indonesia, saya ingin sekali merasakan sistem pembelajaran di negara lain yang tentunya berbeda dengan di Indonesia. Saya ingin berinteraksi dengan mahasiswa dan dosen dari berbagai negara dan memperluas networking. Ingin membuka mata lebih luas, melihat dengan perpektif yang berbeda, dan mengambil sari pati terbaik keilmuan yang ada di negara tersebut.

Tapi mimpi tidak selalu sesuai dengan timeline yang sudah kita rencanakan. Ternyata di tahun 2006, saya bertemu dengan ‘future husband’. Tiga tahun setelah lulus kuliah, saya bukannya melanjutkan sekolah S2, tetapi malah menikah. Saya pikir waktu itu, ya ngga apa-apa menikah dulu, kan beasiswa S2 masih bisa dicari setelah menikah.

Ternyataaa….setelah menikah saya langsung hamil. Kemudian sibuk melahirkan, menyusui, mengurus anak sambil bekerja, dan lain sebagainya. Singkat cerita, saya baru memiliki kesempatan untuk kembali berburu beasiswa pada tahun 2018, yaitu ketika anak kedua saya berumur dua tahun dan sudah memiliki keleluasaan untuk mulai kembali mengejar mimpi. Tahun 2018 itu saya mendaftar ke tiga beasiswa: Chevening, LPDP, dan SISGP. Alhamdulilah semuanya tidak ada yang nyangkut.

Kemudian akhirnya pada 2020, mimpi itu sedikit demi sedikit mulai memiliki wujud. Suami saya mendapatkan penempatan di Wellington, Selandia Baru. Langsung saja saya mencari informasi untuk melanjutkan sekolah di Victoria University of Wellington. Gayung bersambut, ternyata saya mendapatkan banyak kemudahan untuk kuliah disini. Di antaranya adalah bisa mendapatkan beasiswa full untuk mendapatkan pendidikan full-time IELTS preparation selama 12 minggu, untuk persiapan kuliah.

Selain itu, status visa kami memungkinkan saya untuk membayar tuition fee dengan harga domestic students. Harganya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan tarif international students yang bisa 3-4 kali lipat dibandingkan tarif domestic students. Kesempatan ini tentu tidak boleh disia-siakan.

Jika ditanya, mengapa saya masih ngotot melanjutkan pendidikan setelah kelewatan belasan tahun dari rencana semula? Padahal sebenarnya sekarang hidup saya sudah enak, karena semua ditanggung suami. Harusnya saya bisa ongkang-ongkang kaki, antar jemput anak saja dan jalan-jalan ke tempat-tempat indah di Selandia Baru.

Jawabannya mungkin karena di dalam diri saya selalu ada rasa ingin tahu yang mendesak untuk mendapatkan jawaban. Saya selalu punya banyak pertanyaan di kepala saya, yang otak saya tidak mampu menjawabnya. Saya selalu punya kritik atas berbagai permasalahan, tapi tidak punya cukup kekuatan untuk menyusun argument atas kritik saya.

Pertanyaan-pertanyaan dan keresahan ini terus menggiring saya pada keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Saya merasa otak saya mentok. Saya sangat ingin memberi kebabasan pada otak saya untuk mengeksporasi dan mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dan kritik di dalam kepala saya. Saya ingin memiliki kekuatan untuk menyusun argumen-argumen yang ada dalam kepala saya.

Kekuatan untuk menyusun argumen itu adalah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahun dapat memberikan kita kekuasaan untuk melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain. Ilmu pengetahuanlah yang bisa menuntun saya untuk membangun argumen atas kritik-kritik dan pertanyaan saya yang seringkali tidak mendapat jawaban. Seperti yang pernah dikatakan Rene Descartes, “Cogito Ergo Sum”, aku berpikir maka aku ada. Sejatinya kita bisa mendefinisikan diri sebagai manusia jika kita berpikir.

Saya berjanji pada diri sendiri, sesibuk apapun kehidupan saya, saya akan mendedikasikan waktu untuk pengembangan diri sendiri, untuk meningkatkan kapasitas diri sendiri. Saya tidak mau hanyut dalam arus kesibukan keluarga, hanyut dalam kewajiban sebagai istri dan ibu. Mengembangkan diri sendiri bukan berarti egois dan melupakan keluarga, tapi ini salah satu bentuk merawat diri sendiri. Pun seorang istri dan ibu memiliki kebutuhan untuk selalu bertumbuh.

Minggu-minggu Pertama Adalah Mimpi Buruk

Mengapa tidak ada mengatakan pada saya bahwa kuliah S2 itu sulit sekali? Saya melihat bagaimana suami saya kuliah S2 di University of Bradford. Saya melihat bagaimana sahabat-sahabat saya melanjutkan S2 di luar negeri. Yang saya lihat: menyenangkan sekali hidup mereka, bisa berjalan-jalan di taman ilmu pengetahuan sambil jalan-jalan di luar negeri.

Ternyata melihat orang lain kuliah S2 berbeda dengan ketika menjalaninya sendiri. Ketika saya menjalani sendiri kuliah S2 di Victoria University of Wellington, ternyata sulitnya betul-betul membuat mau nangis! Minggu-minggu pertama perkuliahan adalah yang paling berat, dimana saya belum punya teman, berjuang keras menghadapi kendala bahasa dan berusaha memenuhi tuntutan perkuliahan untuk membaca dan menulis tanpa henti.

Saya mengalami malam-malam dimana saya tidak bisa tidur karena khawatir memikirkan tugas yang harus diselesaikan. Ada momen dimana saya malu sekali, karena tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana dari dosen. Ada rasa grogi yang luar biasa ketika harus melakukan presentasi akademik dalam Bahasa Inggris, di depan dosen dan pelajar lain yang semuanya adalah native speakers. Ada rasa minder karena saya sudah terlalu lama meninggalkan dunia akademik dan ketinggalan jauh dari teman-teman yang lain. Ada rasa kesepian yang menyelinap, karena merasa sendirian melalui perjalanan berat ini.

Jadi buat yang punya rencana melanjutkan pendidikan di luar negeri, siapkan mental kalian untuk menghadapi minggu-minggu pertama yang sulit ini. Satu saran dari saya untuk menghadapi semua ini adalah: BODO AMAT! Enyahkan semua pikiran negatif seperti perasaan ragu, malu, minder dan lain sebagainya. Perjalanan pendidikan ini adalah pengalamanmu sendiri, bukan pengalaman orang lain. Setiap orang punya tujuan sendiri-sendiri mengapa mereka mengambil kuliah S2. Tetap fokus pada tujuan dan lupakan yang lain.

Tantangan yang dihadapi ketika menjalani perkuliahan berbeda-beda setiap orang. Teman-teman saya di kampus mungkin hanya pusing memikirkan kasus yang akan dianalisa, teori yang harus digunakan, dan bagaimana cara menganalisanya. Bagi saya lebih dari itu: saya harus beradaptasi dengan bahasa dan sistem pendidikan di Selandia Baru. Perjalanan ini bahkan sudah sulit ketika memulai pendaftaran. Saya kebingungan memilih mata kuliah yang harus saya ambil.

Di Selandia Baru, kita harus membayar tuition fee secara penuh di awal pendaftaran perkuliahan. Setiap mata kuliah yang tersedia memiliki harga yang berbeda-beda, karena itu kita harus sudah bisa membuat perencanaan secara mandiri, mata kuliah apa saja yang akan kita ambil, saat melakukan pendaftaran. Saya tentu kebingungan, karena sistem seperti ini tidak saya temui di Indonesia. Akhirnya saya menghubungi beberapa dosen, dan untunglah ada salah satu dosen yang bersedia membimbing saya untuk memilih mata kuliah melalui sambungan telepon.

Saya pikir masalah pendaftaran sudah selesai sampai disini. Ternyata di minggu pertama perkuliahan, saya merasa tidak cocok dengan dua mata kuliah yang sudah saya ambil. Untunglah, kita masih boleh mengubah mata kuliah maksimal dua minggu setelah masa perkuliahan dimulai. Di minggu pertama, saya masih kelimpungan mengganti mata kuliah.

Kemudian di minggu-minggu berikutnya, saya ngos-ngosan mengejar target reading list yang ditentukan oleh dosen. Budaya literasi di negara-negara maju memang berbeda dengan di Indonesia. Dalam seminggu, ada sekitar enam sampai 12 sumber bacaan yang harus saya baca. Bukan hanya sekedar membaca, tapi saya harus mengerti isinya, karena di dalam perkuliahan, sumber bacaan itu akan didiskusikan bersama teman-teman yang lain. Kalau kita tidak membaca, bisa dipastikan kita akan bengong dalam sesi diskusi di kelas.

Kemudian minggu-minggu berikutnya, tugas-tugas seperti tidak pernah berakhir. Kehidupan saya praktis dihabiskan untuk membaca dan menulis. Terkadang saya tidak punya waktu untuk membaca, berpikir, dan kemudian dituangkan dalam tulisan. Kerapkali membaca, berpikir dan menulis dilakukan dalam satu waktu bersamaan.

Selain itu, saya merasa semakin meningkatkan public speaking skills dalam bahasa Inggris. Karena sebelum membuat essay, kami dituntut untuk bisa mempresentasikan essay yang kan ditulis, berikut landasan teori yang akan digunakan dan sumber literaturnya. Dalam presentasi ini, terjadi brainstorming bersama dosen dan teman-teman. Setelah saya melakukan presentasi, teman-teman dan dosen akan menanggapi dan memberi saran untuk essay saya. Meskipun harus mengerahkan segala keberanian dan kepercayaan diri untuk presentasi, tapi saya mendapatkan banyak manfaat dari metode ini. Saya belajar dari essay teman-teman saya, dan essay saya pun dipelajari oleh teman-teman saya.

Minggu-minggu terakhir di Trimester 1, saya seperti petapa yang bersemedi di dalam gua. Selama tiga minggu penuh, saya tidak keluar rumah karena harus mematangkan konsep essay akhir dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Terkadang rencana yang sudah saya susun di kepala, akhirnya berubah setelah memperbanyak sumber referensi. Meskipun rasanya masa-masa ini berat sekali, tapi saya bersyukur karena memiliki dosen-dosen yang sangat membantu dan memiliki sumber referensi yang melimpah. Dosen-dosen saya membimbing untuk memecahkan permasalahan essay saya, dengan cara memberikan bahan bacaan yang dapat membantu analisis saya.

Kemudian saya didukung dengan sistem perpustakaan yang mumpuni, yang menyediakan seluas-luasnya sumber bacaan. Salah satu dosen saya menyarankan saya untuk membaca lima buku tambahan untuk essay saya, dan dua dari lima buku itu tidak tersedia di perpustakaan kampus. Lalu saya mengirimkan email kepada subject librarian, meminta bantuannya untuk mendapatkan akses pada buku-buku yang tidak tersedia di perpustakaan. Tiga hari kemudian, buku-buku yang saya butuhkan sudah bisa diakses di e-library kampus.

Jadi kesan saya selama menjalani Trimester 1 perkuliahan adalah: berat, tapi bisa dan layak diperjuangkan. Meskipun berat, tapi sistem perkuliahan di Victoria University of Wellington memungkinkan saya untuk menjalaninya. Mungkin kuncinya cuma satu: jangan malu bertanya. Kalau memang kesulitan menjalankan tugas, bertanyalah pada dosen, karena mereka dengan senang hati akan membantu. Di kampus saya, saya belum menemui dosen killer. Semua dosen di kampus saya sangat ingin mahasiswanya sukses dalam pembelajaran dan mereka akan membantu dengan berbagai cara. Tidak ada hierarki antara dosen dan mahasiswa, bahkan saya memanggil dosen hanya dengan nama depannya. Jadi mungkin yang membuat saya bisa melewati Trimester 1 ini adalah dosen yang sangat membimbing, teman-teman yang mendukung, dan sumber bacaan yang melimpah yang disediakan oleh kampus.

Last but not least, tentu saja dukungan dari suami dan anak-anak. Mereka yang merelakan waktu saya diambil oleh perkuliahan, terkadang tidak sempat masak dan harus beli makanan atau makan hanya nasi dan ceplok telor. Suami yang seringkali mengambil alih tugas untuk beres-beres rumah, anak-anak saya harus menghadapi ibunya yang moody karena pusing mengerjakan tugas, I love you all so much!

Tussie Ayu

A freelance writer, a news correspondent, a Master of Communication student in Victoria University of Wellington.

Recommended Articles

4 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *