Tidak ada dua manusia yang benar-benar cocok. Meskipun berjodoh, pasangan suami istri pun memang ditakdirkan tak sama. Kita lahir dari keluarga yang berbeda, suku yang berbeda, pola asuh yang berbeda, pendidikan yang berbeda, juga sifat, kebiasaan dan selera yang berbeda.
Begitu pula saya dan Reza. Dulu, saya pikir saya akan menikah dengan laki-laki yang lebih tua dari saya, yang bisa ngemong dan mengerti sifat keras kepala saya.
Ternyata saya menikah dengan Reza yang lebih muda 4 bulan dari saya, sama-sama bungsu, sama-sama keras kepala.
Saya pikir saya akan menikah dengan laki-laki yang suka membaca buku-buku sastra seperti saya. Lalu saya akan bisa membahas mengapa Setadewa tidak pernah menikah dengan Larasati dalam cerita Burung-Burung Manyar. Atau laki-laki yang mengerti mengapa saya tidak bisa membendung air mata ketika Nyai Ontosoroh berkata kepada Minke, “Kita telah melawan Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Ternyata saya menikah dengan Reza, yang bahkan tidak tahu apa itu Tetralogi Pulau Buru.
Saya memang memilih jodoh saya, tapi dia bukan milik saya sepenuhnya. Saya tidak bisa memaksa Reza untuk menjadi seperti saya. Dia juga tidak bisa memaksa saya untuk bisa seperti dia.
Memiliki suami yang sempurna adalah utopia. Punya suami yang 100 persen sesuai dengan keinginan kita adalah mimpi di siang bolong. Cukuplah mencari laki-laki, yang dengannya kita bisa menjadi diri sendiri. Tidak perlu berpura-pura baik atau berpura-pura keren untuk mendapatkannya. Karena dengan Reza, saya bisa tertawa sepuasnya, menangis sepuasnya dan marah sepuasnya. Believe it or not, he will still love me anyway.
Ketidakcocokan dalam pernikahan adalah sebuah keniscayaan. Mencoba untuk saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing adalah perjuangan.
Kita boleh saja bercita-cita punya suami ganteng, kaya raya, pintar, baik hati, sopan, penyanyang dan sederetan impian lainnya. Namun pada akhirnya, kita akan bertahan pada seseorang yang selalu menciptakan rasa nyaman. Sedangkan ganteng, pintar, kaya, dan yang lainnya hanyalah bonus…yang kalau ada pada pasangan kita ya harus disyukuri, kalau tidak ada pun tak apa-apa.
Hari ini… tepat sepuluh tahun lalu, kami berjanji di hadapan Tuhan untuk bersama dalam susah dan senang.
Pada usia 26 tahun, kami memutuskan untuk menikah. Satu dasawarsa ini berjuta rasanya: manis, asam, asin, getir. Dan saya bersyukur kami bisa berada di titik ini, masih saling mencintai dan saling merasa cukup.
Selamat ulang tahun pernikahan ke-10, Reza Reflusmen Jr. Laki-laki pilihan saya. Dia yang paling mengerti saya dengan segala ide, keinginan dan cita-cita yang tiba-tiba datang. Dia yang selalu ada di saat sedih dan senang
Untuk merangkum perjalanan 10 tahun pernikahan ini, saya mengumpulkan foto-foto dimana kami pernah meninggalkan jejak. Sejak dulu saya selalu bermimpi untuk bisa keliling dunia, menjadi saksi sejarah di masa saya hidup. Karena itu saya bercita-cita jadi seorang jurnalis. Tapi takdir berkata lain, dan Tuhan memang Mahabaik. Kalau jadi wartawan, saya hanya akan berkeliling dunia seorang diri. Tapi saat ini, saya bisa berkeliling dunia dengan orang-orang yang saya cintai.