Setiap manusia pasti ingin bahagia. Bahkan kebahagiaan menjadi salah satu tujuan hidup, setidaknya bagi saya. Bahagia tidak berkorelasi dengan kekayaan atau harta yang kita punya, karena banyak kan orang kaya yang hidupnya tidak bahagia. Lalu, kebahagiaan bergantung pada apa? Pada banyak hal sih menurut saya, tapi satu kunci kebahagiaan adalah rasa bersyukur dan merasa cukup dengan apa yang kita miliki.

Kali ini saya ingin bercerita tentang kebahagiaan Ibu. Sebagai “jantung” keluarga, Ibu punya peran penting yang akan berimbas pada seluruh keluarga, termasuk mood dan kebahagiaan seluruh anggota keluarga.

Saya ingat, setelah melahirkan Shirin, anak pertama saya, saya mengalami baby blues. Mungkin bukan termasuk yang parah, tapi sejujurnya saya sendiri tidak tahu pasti seberapa parah kadar baby blues yang saya alami, karena saya tidak punya waktu untuk berkonsultasi ke psikolog. Saat itu kondisinya, saya adalah ibu yang masih nol pengalaman, saya bekerja dan punya bayi yang luar biasa rewel.

Hari-hari pertama sebagai Ibu adalah yang paling berat. Shirin bisa nangis luar biasa kencang berjam-jam setiap hari, dan saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk membuatnya tenang. Saya tawarkan ASI, dia tidak mau. Sebagai Ibu baru, saya juga tidak bisa menggendong bayi baru lahir dengan cukup baik. Akhirnya bayi saya nangis berjam-jam hingga dia lelah sendiri dan tertidur.

Saya stress setiap hari, kondisi ini membuat ASI saya tidak lancar. Padahal saya sudah berkomitmen ingin memberikan ASI eksklusif. Omongan orang sudah macam-macam, ada yang bilang ASI saya sedikit, Shirin kelaparan, beri saja susu formula!

Saya menangis setiap hari. Kenapa bayi saya rewel terus? Saya tanya pada teman-teman saya, rasanya tidak ada yang punya bayi serewel Shirin. Saya pun baru tahu kalau bayi baru lahir ternyata bisa menangis keras sekali selama berjam-jam, tadinya saya pikir bayi baru lahir hanya bisa tertidur manis dan menyusu.

Saya sangat tidak bahagia. Saya berdoa kepada Tuhan, memohon agar anak saya tidak rewel. Saya tersiksa melihat Shirin menangis meraung-raung setiap hari. Ibu mana yang bahagia jika melihat anaknya menangis dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Suami saya selalu melihat pada saya dengan pandangan kasihan dan prihatin, saya tahu dia ingin saya bahagia. “Seandainya Shirin bahagia, anteng dan tenang, saya juga pasti akan jadi ibu yang bahagia,” begitu pikir saya pada waktu itu.

Kondisi ini sempat membuat saya trauma untuk punya anak. Selama bertahun-tahun saya mengumpulkan keberanian untuk bisa punya anak lagi. Akhirnya keberanian itu terkumpul lima tahun kemudian. Sekitar lima tahun setelah Shirin lahir, akhirnya saya memberanikan diri untuk mencopot alat kontrasepsi. Saat itu suami saya sedang bertugas di Bucharest, Romania. Saya senang dengan kota ini, ada banyak taman tempat saya bisa berjalan-jalan, ada fasilitas kesehatan yang baik. Saya pikir, ini tempat yang cocok bagi saya untuk melahirkan dan membesarkan bayi saya.

Kali ini saya mempersiapkan kelahiran anak kedua dengan lebih baik. Saya olahraga, banyak berjalan kaki, mengikuti kelas hypnobirthing yang membuat saya selalu berpikir positif dan pastinya lebih banyak berdoa, pasrah dan mendekatkan diri pada Tuhan.

Kemudian saya melahirkan anak kedua, yang kami beri nama Miruna, dengan lancar dan sungguh membahagiakan. Saya masih menyimpan rasa khawatir, jika saya akan kesulitan menyusui seperti pengalaman menyusui Shirin. Ternyata kekhawatiran saya tidak terbukti. Saya menyusui dengan percaya diri, saya tahu bagaimana posisi yang benar untuk menyusui bayi.

Tapi bukan berarti semuanya lancar tanpa kendala. Miruna juga pernah melewati masa-masa rewel dan menangis hingga satu jam lamanya. Tapi kali ini saya lebih percaya diri. Saya percaya, everything is under control. Jika Miruna menangis, saya akan menimangnya dan menawarkan ASI. Jika dia menolak menyusui, tak apa. Saya akan menggendongnya hingga dia tenang dan tertidur.

Setelah mempunyai anak kedua, saya belajar satu hal. Kebahagiaan kita tidak tergantung pada orang lain, tapi kebahagiaan berasal dari diri sendiri. Sekeras apapun usaha orang lain membahagiakan kita, kalau kita tidak bisa membahagiakan diri sendiri, kita tidak akan bisa bahagia.

Kita punya pilihan, apakah ingin bahagia atau ingin stress? Kalau ingin bahagia, take a deep breath, percaya pada diri sendiri bahwa kita bisa melakukannya. Percaya atau tidak, ternyata kebahagiaan anak justru tergantung pada kebahagiaan kita. Jika kita ingin anak dan keluarga kita bahagia, hal pertama yang harus dilakukan adalah membahagiakan diri sendiri.

Ingat dengan instruksi di pesawat terbang? Jika oksigen di pesawat berkurang, yang harus kita lakukan adalah memakai masker untuk diri sendiri, baru kemudian memakaikan masker untuk anak kita. Logikanya, jika ingin menyelamatkan orang lain, kita sendiri harus selamat dulu. Karena tidak mungkin kita bisa menyelamatkan anak kita, jika kita sendiri tidak selamat. Is it sound too selfish? Bukan, tentu saja menyelamatkan diri sendiri untuk kemudian menyelamatkan orang lain bukan sesuatu yang selfish.

Begitu juga dengan kebahagiaan. Bagaimana kita membuat anak-anak dan keluarga kita bahagia jika kita sendiri stress? Jika pusing dengan kelakuan anak-anak, take a deep breath, take time for your self. Minta waktu untuk diri sendiri atau bertemu dengan teman-teman. Jika pikiran kita sudah tenang dan segar, maka kita akan bisa menghadapi anak-anak dengan lebih baik.

Untuk Ibu-ibu di luar sana, punya waktu dan kebahagiaan sendiri bukan sesuatu yang salah. Jika kita bahagia, percaya deh kebahagiaan itu akan tertular pada anggota keluarga yang lain. Anak-anak dan suami kita juga pasti ingin kita jadi ibu yang bahagia, bukan ibu yang stress dan marah-marah sepanjang hari.

Tussie Ayu

A freelance writer, a news correspondent, a Master of Communication student in Victoria University of Wellington.

Recommended Articles

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *