Memasuki akhir Maret di Karachi, musim dingin telah hilang tak bersisa. Tiga puluh lima derajat Celsius di Minggu siang itu, tapi tidak menyurutkan langkah saya untuk pergi ke Sunday Bazaar. Seperti namanya, Sunday Bazaar adalah pasar yang buka hanya pada hari Minggu. Ini adalah salah satu tempat favorit saya di Karachi, karena sejatinya Sunday Bazaar adalah pasar loak yang serba ada dan sangat luas. Apapun yang Anda butuhkan ada disini, dengan harga sangat miring tentunya.
Hari ini, tujuan saya ke Sunday Bazaar adalah untuk mencari karpet dan lukisan. Saya ingin mencari lukisan kecil yang menggambarkan Pakistan, sebagai kenang-kenangan jika nanti kami sudah tak lagi berada di negara ini. Maka saya dan suami saya melihat beberapa lapak yang menjual lukisan, namun belum ada satu pun yang nyangkut di hati.
Biasanya kami pergi ke Sunday Bazaar dengan membawa putri kecil kami yang berusia 4 tahun, Shirin. Tak banyak tempat yang bisa kami jelajahi jika membawa Shirin, karena sebentar saja dia akan mengeluh kehausan atau kelelahan atau kebosanan. Karena itu, kami biasanya hanya menjajaki toko-toko yang berada di bagian depan. Itu pun sudah membuat kami kelelahan karena luasnya area Sunday Bazaar, juga karena cuaca di Karachi yang sangat panas.
Namun hari ini, saya memutuskan untuk pergi berdua saja bersama suami, agar lebih leluasa menjelajahi pasar loak ini. Saya mengajak suami untuk pergi ke toko paling belakang, yang selama ini belum pernah kami singgahi.
Lapak-lapak di bagian belakang terlihat lebih berantakan dibandingkan dengan lapak di bagian depan. Awalnya saya tidak tertarik pada barang-barang yang dijajakan, hingga mata saya kemudian menangkap sebuah lapak kecil yang menjual kalung batu. Sang penjual hanya menggelar kain di depan sebuah toko, kemudian menghamparkan dagangannya di atas kain itu. Sebagian kalung digantungnya pada sebatang ranting. Sangat bersahaja, namun saya terkesima dengan koleksi kalung batu yang ia miliki.
Saya suka dengan beraneka warna kalung batu itu. Desainnya juga tidak terlalu meriah seperti kalung batu yang biasa dijual di tempat lainnya di Pakistan. Sang penjual kalung itu menyapa saya dengan ramah. “Stone necklace, Madam. I will give you good price,” demikian katanya.
Sang pejual kalung batu itu…
Hanya dalam sekali pandang, saya bisa menerka jika dia adalah seorang Hazara.
Jika Anda pernah membaca atau menonton film The Kite Runner, pasti pernah mendengar tentang etnis Hazara. Salah satu tokoh dalam cerita itu bernama Hassan, seorang anak pemberani dan berhati bening. Hassan adalah seorang anak Hazara, yang sangat setia pada majikannya yang beretnis Pashtun.
Etnis Hazara cukup mudah dikenali, mereka tidak terlihat seperti orang Pakistan pada umumnya. Leluhur mereka berasal dari percampuran orang Mongolia dan Persia, karena itu mereka juga memiliki figur yang unik. Mata mereka sedikit sipit, kulit mereka terang dan hidung mereka pesek. Mereka lebih terlihat seperti orang Tiongkok daripada seorang Pakistan. Jika saja sang penjual kalung ini tidak memakai pakaian shalwar qameez, barangkali akan sulit mengidentifikasinya sebagai seorang Pakistan.
Sambil memilih kalung, saya pun berbincang-bincang dengan si penjual kalung. Dia bercerita bahwa dia berasal dari Afganistan dan kalung yang dia jual ini pun dibawanya dari Afganistan. Saya bertanya padanya, dari bagian Afganistan manakah ia berasal.
“Quetta, Madam. It’s a border between Pakistan and Afganistan,” ujarnya.
Ingatan saya pun terlempar ke satu minggu sebelumnya, ketika saya bertemu dengan teman lama saya, seorang wartawan Pakistan yang bekerja di Islamabad. Teman saya bernama Muhammad Bilal, saya mengenalnya jauh sebelum saya tinggal di Pakistan. Kami bertemu di Berlin, ketika sama-sama mendapatkan beasiswa jurnalistik di Jerman. Ketika saya berkunjung ke Islamabad, saya akhirnya bisa bertemu dengan Bilal. Salah satu perbincangan dengan Bilal, tentu saja mengenai permasalahan-permasalahan umum di Pakistan. Bilal mengatakan jika Quetta adalah tempat paling berbahaya di Pakistan.
“Really? Even compares to Peshawar?” tanya saya pada Bilal.
“Yes, even compares to Peshawar. Even me..I’ve never been to Quetta,” sahut Bilal.
Sejatinya etnis Hazara berasal dari Afganistan. Perang yang berkepanjangan membuat mereka bermigrasi ke banyak negara, termasuk ke Pakistan dan Indonesia. Di Pakistan, etnis Hazara paling banyak bermukim di Quetta. Mereka seringkali menjadi korban konflik sektarian, karena mereka minoritas dari segi jumlah dan mereka umumnya merupakan penganut Syiah. “Minoritas” dan “Syiah”, adalah dua kata kunci mematikan yang menjadikan mereka target pembantaian.
Pembantaian etnis Hazara menjadi sebuah cerita panjang dan kelam dalam sejarah Pakistan dan Afganistan. Di Quetta saja, tak kurang dari 13.000 orang Hazara telah dibunuh, satu per tiga di antaranya adalah anak-anak. Ironisnya, tak ada satupun dari pembunuhnya yang dibawa ke meja hijau atau ditangkap.
Indonesia sebenarnya juga punya cerita pelik yang berkaitan dengan etnis Hazara. Sebagian besar imigran gelap di Indonesia yang datang dari Pakistan dan Afganistan adalah orang-orang Hazara. Mereka bertaruh nyawa untuk menyeberang dari Indonesia menuju Australia. Sejak tahun 2000-an, ratusan orang Hazara tewas dihadang maut di perairan Indonesia. Sebagian dari mereka adalah anak-anak yang tak pernah tahu bagaimana caranya berenang. Anak-anak yang tak pernah mengerti, mengapa orang tua membawa mereka begitu jauh dari kampung halaman. Jika saja mereka tahu, kampung halaman yang dicintai tak lagi ramah bagi mereka.
Memandang si penjual kalung batu, bagaikan melihat labirin kelam tentang apa yang dialami leluhurnya. Saya tak pernah tahu, kehidupan apa yang dilaluinya di Quetta sehingga ia memutuskan untuk berdagang di Karachi, kota terbesar dan jantung perekonomian Pakistan.
Batu-batu indah yang berasal dari Afganistan ini, dijualnya dengan harga begitu murah.
“You see this blue stone, Madam. This is Lapiz-lazuli from Afganistan,” ujarnya.
Lapis-lazuli berwarna biru tua dengan guratan-guratan berwarna hitam dan putih. Saya sudah cukup mengenal batu khas Afganistan ini. Di Afganistan dan Pakistan, cukup mudah menemui batu jenis ini. Di beberapa penjual batu, bahkan lapis-lazuli dijual masih berbentuk bongkahan besar yang belum dipoles. Kemudian mata saya pun tertuju pada kalung batu lain yang bertahtakan liontin berwarna biru muda.
“This is turquoise, Madam. Very beautiful,” katanya.
Turquoise ini tak kalah indah dari lapis-lazuli. Warnanya biru menenangkan, juga dengan guratan-guratan berwarna kehitaman. Satu persatu kemudian sang penjual menunjukkan black agate yang berkilauan, garnet yang berwarna merah tua, serta batu berwarna merah cerah yang tak dapat saya ingat namanya.
Saya membeli cukup banyak kalung kepadanya. Kami tawar menawar harga, hingga sampai pada harga yang sama-sama kami sepakati. Saya pun membayar sejumlah uang dan berlalu meninggalkan lapak bersahaja itu.
Sambil lalu, saya menoleh pada suami saya dan berkata lirih,
“Ayah..penjual kalung batu itu…Dia orang Hazara.”
“Iya, dia orang Hazara,” ujar suami saya, seperti mengerti pada apa yang sedang saya pikirkan.