Pakistan dan Sejarah yang Berulang

Suatu sore, saya sedang libur dan menemani anak saya bermain. Lalu suami saya menelepon, dan meminta untuk ditelpon kembali karena pulsanya sudah hampir habis. Tanpa firasat apapun, saya kembali meneleponnya. Dia berbicara sebentar kepada Shirin, anak kami. Saya pikir itu adalah tujuan dia menelepon, karena kangen dan ingin berbicara dengan Shirin. Tapi kemudian dia meminta untuk berbicara dengan saya.

“Bunda, ayah udah dapet slip merah,” katanya dengan tenang.

Namun kalimat itu cukup membuat gemuruh di telinga saya. Slip merah biasanya selalu dinanti oleh para diplomat. Itu adalah sebutan untuk selembar surat berwana merah, yang berisi perintah penugasan di sebuah negara dalam periode tertentu. Tapi rasanya saya belum siap menerima slip merah itu.

Saya baru saja menemukan kembali dunia saya. Setelah ikut suami saya menyelesaikan S2nya di Inggis, saya mencari pekerjaan. Saya sudah mengikuti beberapa wawancara di media massa, tapi selalu ada yang tidak cocok dan menyebabkan kami tidak berjodoh. Baru dua bulan yang lalu, saya berjodoh dengan Kompas TV. Saya merasa senang dengan pekerjaan baru saya, teman-teman baru saya, tapi slip merah itu bagaikan peringatan bagi saya untuk tidak boleh berlama-lama tenggelam dalam dunia saya.

“Ayah dapet dimana?”
“Karachi, Pakistan,” katanya..masih dengan suara tenang.
“Apa?! Karachi?? Banyak bom di Karachi!” pekik saya.

Kegundahan saya semakin menumpuk sekarang! Karachi!! Apakah saya akan meninggalkan pekerjaan saya demi Karachi?

Di kantor, saya lalu mengamati dengan ekstra berita-berita terbaru tentang Pakistan. Sejauh ini, tidak ada yang menggembirakan. Seorang anggota DPR ditembak di Karachi sepulang ibadah sholat Jumat. Mesjid Syiah dibom di Utara Pakistan, 14 orang tewas. Sepuluh turis asing tewas ditembak di utara Pakistan. What do you expect?!

Satu-satunya yang bisa menghibur adalah; saya punya dua orang sahabat di Pakistan. Kami bertemu ketika sama-sama mengikuti kursus singkat jurnalistik di Berlin, Jerman. Tapi kedua teman saya itu tinggal di Islamabad, jauh dari Karachi.

Bilal, salah satu teman saya itu selalu berhubungan dengan saya melalui BBM. Dan ketika tahu suami saya akan bertugas ke Karachi, komunikasi kami semakin intens. Saya bertanya pada Bilal sebanyak-banyaknya, dan dia menghibur saya sekeras-kerasnya. Mencoba meyakinkan saya bahwa negaranya juga menarik untuk ditinggali.

Saya juga menghubungi beberapa teman di Kementerian Luar Negeri yang sudah pernah penempatan. Semua mengatakan pada saya, “Disyukuri aja, semua ada hikmahnya.” Begitulah keluarga diplomat, harus siap kemanapun ditugaskan. Selalu bersyukur dengan keterbatasan.

Lalu saya mulai mencari, apa hikmah yang bisa diambil dari penempatan suami saya ke Karachi. Saya mencari benang merah dengan Pakistan. Lalu pikiran saya mulai mengembara…

2009, Berlin – Jerman
Saya bertemu dengan Muhammad Bilal dan Sehrish Wasif. Dua teman wartawan yang sama-sama manjadi peserta kursus singkat Multimedia dan Online Journalism. Kami berteman dengan baik, meskipun pernah bertengkar karena Bilal sering keterlaluan mengerjai saya. Tapi kami punya kenangan luar biasa gila di Jerman. Salah satunya malam tak terlupan di Hamburg, ketika Bilal menari bersama penari telanjang di kawasan Reeperbahn, kawasan merah di Hamburg. Juga ketika saya yang mati-matian menolak minum beer, tapi kemudian malah ketumpahan beer yang diminum Bilal. Banyak kejadian lucu dan menyenangkan yang saya lewati bersama teman-teman dari Pakistan.

2009, Jakarta-Indonesia
Teman bekerja saya di tvOne, Riki Dhanu akan bertugas untuk meliput ke Pakistan. Suatu malam kami bertemu di sebuah cafe. Melalui dunia maya, saya memperkenalkan Bilal dengan Riki, agar Bilal bisa membantu Riki dalam keperluan peliputannya. Saya menitipkan beberapa oleh-oleh khas Indonesia pada Riki, untuk diberikan pada Bilal dan Sehrish.

2011, Jakarta-Indonesia
Saya berkenalan dengan Adam Bachtiar, kontributor tvOne di Pakistan. Dia adalah mahasiswa Indonesia yang 9 tahun tinggal di Pakistan. Adam melaporkan kematian Osama bin Laden dari Pakistan, untuk tvOne. Dan ternyata, Adam dan Bilal juga saling kenal. Betapa dunia yang sempit.

2012, Bradford-Inggris
Suami saya menyelesaikan Studi S2-nya di University of Bradford. Di Bradford, begitu banyak orang-orang Pakistan, India dan Bangladesh. Bahkan kami menyewa sebuah rumah milih warga negara Inggris yang asal Pakistan. Bahkan rektor kehormatan University of Bradford adalah pemain kriket legendaris asal Pakistan. Bahkan tetangga kiri dan kanan kami adalah orang-orang Pakistan. Anak saya, Shirin, bermain dengan tetangga sebelah rumah, dengan anak-anak Pakistan yang semuanya laki-laki dan manis-manis. Tapi kami punya kenangan buruk dengan Landlord, sang pemilik rumah yang bengis. Sejak awal suami saya sering bertengkar dengannya, dan dia tidak mau mengembalikan uang deposit sewa rumah milik kami.

Benang merah ini berputar-putar di kepala saya. Selama ini Tuhan sudah memberikan sinyal pada saya tentang Pakistan, tapi saya yang telalu bodoh. Tidak mendengar dan tidak merasakan sinyal-sinyal itu.

Saya kembali juga pada kenangan masa kecil saya. Saya lahir dan besar di Lhokseumawe, Aceh Utara. Tempat konflik mengemuka di Indonesia. Saya pernah ketakutan mendengar rentetan suara senjata yang tidak saya ketahui asalnya. Saya pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bendera Gerakan Aceh Merdeka dikibarkan dengan paksa di sekolah saya.

Sejarah berulang, bukan? Apakah anak-anak saya juga akan lahir di daerah konflik seperti ibunya? Apakah mereka akan punya kenangan hidup di daerah konflik seperti ibunya?

Hanya Tuhan yang bisa menjawab dan manusia hanya bisa berpasrah.

Tussie Ayu

A freelance writer, a news correspondent, a Master of Communication student in Victoria University of Wellington.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *