Inggris, bagi kebanyakan warga dari negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah sebuah negeri impian, tempat dimana kesempurnaan hadir di dunia. Keindahan, kemakmuran dan kesejahteraan berdendang menjadi satu. Utopia yang hanya angan-angan bagi kita, disanalah tempatnya memiliki wujud.

Bagi penggemar bola kaki, disinilah tempat para jago sepak si kulit bundar berlaga. Bagi penggemar musik, disinilah asal The Beatles, Oasis, Muse, Spice Girls dan sederetan band-band Brit Pop yang tenar semasa saya masih ABG. Bahkan grup musik Indonesia, The Changcuters menciptakan lagu berjudul Hijrah ke London, sebagai gambaran bagaimana inginnya mereka pergi ke Inggris. Namun bagi saya yang seorang penggemar cerita dongeng, Inggris adalah negeri seribu kastil, kampung halaman para puteri dan pangeran, juga tanah air si penyihir paling kondang sejagad, Harry Potter.

Karena itu, bisa dibayangkan bagaimana girangnya hati saya ketika menerima kabar bahagia itu. Saya ingat saat itu adalah bulan Mei 2011, saya sedang di kantor, bukan hanya sedang bekerja, tapi juga tengah on air untuk memproduseri sebuah program berita di televisi swasta tempat saya berkarya. Biasanya ketika sedang on air, saya tidak akan menerima telepon dari siapapun, kecuali dari atasan saya. Namun hari itu, suami saya menelepon di jam-jam sibuk. Ini tidak biasa, karena suami saya tahu persis bahwa ini jam saya on air, tentu ada sesuatu yang penting jika dia menelepon saat ini.

Dengan terburu-buru dan tidak sabaran, saya langsung bertanya,

“Halo…kenapa yang?”

“Lagi ngapain?”

“Lagi siaran Kabar Terkini.”

“Sudah selesai siarannya?”

“Belom, ini masih siaran…kenapa?”

“Tadi ada telepon …”

Sesaat dia menghentikan pembicaraan. Jantung saya langsung berdentum seperti meriam yang siap meletup. Kami tengah menunggu kabar beasiswa yang diajukan suami saya untuk bersekolah ke Inggris. Firasat saya, ini berkaitan dengan pengumuman beasiswa yang telah kami upayakan selama tiga tahun terakhir.

“Terus gimana?” tanya saya tak sabar.

“Aku dapet beasiswa ke Inggris!”

“Apa?! Kamu dapat beasiswa ke Inggris?!” saya memekik kegirangan, sehingga rekan-rekan yang tengah berada di control room mendelik ke arah saya.

Alhamdulillah! Selamat ya!” kata saya.

Setelah jatuh bangun, putus asa dan bangkit kembali, terseok-seok dan memaksa diri untuk tetap tegar, akhirnya suami saya mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi S2-nya ke Inggris. Ini pencapaian penting bagi kami, karena selama tiga tahun terakhir, inilah impian dan tujuan kami: mendapatkan beasiswa S2 ke luar negeri untuk menunjang karir suami saya. Bukan hal mudah, karena berulang kali suami saya ditolak oleh berbagai lembaga pemberi beasiswa, namun akhirnya usaha kami membuahkan hasil.

Bayangan tentang kastil, pangeran dan puteri negeri dongeng pun menari-nari dalam benak saya. Kami sudah memutuskan, jika memang suami saya mendapatkan beasiswa ini, saya dan anak kami pun akan ikut menemani suami saya. Can you believe it? We will go to England! Kami akan pergi ke tanah impian!

* * * * *

Jika saya menyebutkan “Inggris”, kota apa yang terbayang di benak Anda? Mungkin sebagian besar akan menjawab London, Manchester, Liverpool, Newcastle, York, Birmingham atau Leeds. Universitas apa yang Anda tahu berada di Inggris? Mengkin Anda akan menjawab University of Cambridge, Oxford, Saint Andrews, King’s College atau London School of Economics.

Tapi adakah yang pernah mendengar tentang sebuah kota bernama Bradford? Saya tidak menyalahkan Anda apabila Anda tidak tahu, atau bahkan tidak pernah mendengar tentang kota ini. Saya mengernyitkan kening ketika suami saya mengatakan akan melanjutkan studinya di University of Bradford.

“Dimana itu?” ujar saya polos.

“West Yorkshire, di Inggris bagian tengah,” jawab suami saya.

Suami saya sejak lama berencana untuk memperdalam bidang International Security. Dan setelah dia mencari informasi mengenai jurusan ini, maka pencariannya mengarah pada Jurusan Peace Studies di University of Bradford.  Saya pun mencari informasi mengenai universitas antah berantah yang belum pernah saya dengar namanya ini. Ternyata universitas ini memiliki kredibilitas yang baik di jurusan Peace Study. University of Bradford adalah universitas pertama di Eropa yang memiliki jurusan ini. Mahasiswa dari berbagai sudut penjuru dunia datang ke Bradford untuk mempelajari tentang keberagaman, kerukunan, kesetiakawanan dan tentu saja tentang perdamaian.

Maka pada awal September 2011, suami saya mengepakkan sayapnya ke Bradford, Inggris Raya. Saya dan anak saya menyusul beberapa bulan kemudian.

* * * * *

Musim semi baru saja merekah dari balik cakrawala, namun salju keputihan masih hinggap di puncak bukit. Bukan, ini bukan musim dingin, tapi saya masih mengigil dan mulut saya mengeluarkan uap putih seperti cerobong asap. Selamat datang di Inggris! Negara yang bagi makhluk tropis seperti kita, adalah musim dingin tak berujung.

Keluarga kami akan menetap sementara waktu di Kota Bradford, West Yorkshire. Kesan pertama yang saya lihat dari kota ini adalah: sepi, terutama karena saya tiba pada hari Minggu, dimana kebanyakan toko tutup dan jalanan lengang. Apa yang akan saya lakukan disini?

Beberapa hari kemudian, saya baru berjalan-jalan mengelilingi kota ini. Saya cukup takjub melihat betapa banyaknya wanita yang mengenakan hijab, bahkan beberapa dari mereka tidak sekedar berhijab, tetapi juga mengenakan cadar. Di lingkungan tempat tinggal kami pun tidak sulit menemukan toko yang menjual makanan halal, bahkan kami bisa menemukan beberapa mesjid di dekat rumah.

Perekonomian Inggris kini didongkrak oleh kaum pendatang yang kebanyakan berasal dari Pakistan, India dan Bangladesh. Mereka tentu saja membawa serta budaya dan keyakinan, ini menguntungkan bagi kami sehingga tidak kesulitan untuk beribadah dan menemukan penganan halal. Terkadang sayup-sayup suara adzan terdengar, jangan ditanya bagaimana indahnya. Meskipun di tanah air kita bisa mendengar suara adzan lima kali sehari, namun jika terdengar di negara mayoritas non muslim, suara adzan sungguh sangatlah merdu.

Banyak yang “ngiri” ketika tahu saya pindah ke Inggris, mereka melihat Inggris dari seberang lautan, sehingga yang tampak hanya keindahan belaka. Nyatanya, hidup di negeri orang tidak selamanya indah. Contoh paling sederhana, adalah saat berbelanja. Ketika hidup di Jakarta, saya memiliki sebuah mobil kecil yang siap mengantar kemanapun saya mau, namun di Inggris saya harus mengandalkan transportasi umum. Celakanya, di Bradford tempat saya tinggal, hanya ada bus untuk transportasi umum dalam kota, itupun tidak melayani semua rute. Jika saya ingin berbelanja ke supermarket terdekat, tidak ada bus yang melewatinya karena dianggap berjarak terlalu dekat. Namun jika ditempuh berjalan kaki, lumayan membuat pegal karena berjarak 2 kilometer dari rumah dan berbukit-bukit. Di Indonesia, untuk menyiasati hal ini kita bisa naik ojek, becak atau angkot, tapi di Inggris…taksi adalah pilihannya, namun bagi mahasiswa tentu berat jika harus sering-sering naik taksi.

Saya ingat, pertama kalinya saya berbelanja ke supermarket, saya merasa bagikan orang paling merana. Dengan membawa banyak barang belanjaan, saya dan suami bergantian mendorong stroller yang berisi anak kami Shirin yang berusia 1,5 tahun, di jalanan menanjak dan dalam guyuran hujan. Suami saya mengajak Shirin untuk memberi semangat pada saya yang kepayahan mendorong stroller “Ayo Bunda, semangat!” teriak si mungil Shirin. Bagi seorang ibu, adakah hal lain yang lebih menggugah hati daripada semangat yang diucapkan anaknya sendiri?

Selain itu, selama di Indonesia, saya hampir tidak pernah menginjakkan kaki di dapur. Keperluan saya di dapur paling-paling hanya menyiapkan makanan bayi bagi anak saya. Namun di Inggris, setiap hari saya harus putar otak untuk menyiapkan makanan bagi keluarga kecil kami. Pada awalnya, saya hanya bisa menyiapkan makanan sederhana seperti sup ayam atau ayam balado. Namun lama kelamaan, kemampuan masak saya meningkat dengan cepat, terutama dipercepat karena harus mempersiapkan menu Idul Fitri. Sebagai puncak masterpiece saya dalam hal masak memasak adalah akhirnya bisa mempersiapkan menu-menu hardcore Idul Fitri seperti rendang, opor ayam, sambal teri kacang dan tentu saja lontong. Selain itu, yang juga cukup membanggakan adalah ketika akhirnya saya bisa memasak sate padang!

Bagi umat muslim, berpuasa di Eropa juga menjadi tantangan berat, apalagi ketika kami berada di Inggris, bulan Ramadhan jatuh pada musim panas yang durasi siangnya sangat panjang. Total berpuasa dari imsak hingga berbuka adalah 18 jam! Sungguh ini adalah ibadah puasa terpanjang dalam hidup saya. Kami memulai sahur pukul 2.30 dini hari, ketika orang lain tengah pulas tidur, kemudian dilanjutkan dengan sholat subuh pada pukul 3.00 pagi. Sepanjang hari, kami menunggu maghrib yang terasa amat sangat lambat datang, yaitu pukul 9.30 malam. Hanya berbuka seadanya, kami langsung melaksanakan sholat Maghrib disusul dengan makan malam dalam kondisi perut yang masih terasa penuh angin. Menunggu Isya pada pukul 10.30 pun merupakan ujian tersendiri, karena harus sekuat tenaga melawan syeitan berupa rasa kantuk. Setelah sholat Isya, barulah kami bisa tidur dengan tenang, itupun harus memastikan alarm sudah dinyalakan pada pukul 2.30 untuk mempersiapkan sahur keesokan harinya.

Awalnya saya tidak yakin bisa menunaikan kewajiban ini sebulan penuh, apalagi saya masih menyusui Shirin. Namun akhirnya saya membulatkan tekad dan niat, “Kun fayakun!” Jadi, maka jadilah! Saya mencoba fokus pada perintah Allah untuk berpuasa, jika Allah sudah mewajibkan pada umatnya berpuasa, maka tiada jalan lain selain mematuhinya. Hari-hari awal berpuasa saya merasa badan saya lemah, letih, layu, apalagi saya juga tetap melakukan kegiatan lainnya yang menguras tenaga seperti mengurus anak, memasak dan berbelanja. Namun ketika akhirnya waktu berbuka tiba, tiada yang mengalahkan keindahannya, meskipun kami berbuka puasa dalam kesederhanaan.

Akhirnya setelah berpuasa selama 30 hari, hari kemenangan tiba. Baru kali ini saya merasakan Idul Fitri yang sungguh syahdu meskipun berada ribuan kilometer dari keluarga dan orang-orang tercinta. Kami melaksanakan sholat Ied di Mesjid Doha yang berdekatan dengan University of Bradford. Tak terkatakan indahnya mendengar alunan takbir. Tidak riuh, tidak gaduh, hanya takbir lamat-lamat, namun menusuk ke hati paling dalam. Kami berhasil, kamilah pemenang dalam ujian kali ini!

* * * * *

Jadi, siapa bilang hidup di luar negeri selalu menyenangkan? Justru hidup di luar negeri mengajarkan pada kita kemandirian dan semangat untuk bekerja sama. Calon mahasiswa yang mencari beasiswa ke luar negeri banyak sekali yang menyangka telah mendapatkan kemenangan ketika mendapatkan surat yang menyatakan mereka adalah penerima beasiswa. Namun kenyataannya, perjuangan mereka yang sesungguhnya baru saja dimulai. Kehidupan kampus juga tidak semudah yang dibayangkan. Kehidupan mahasiswa dipenuhi dengan kegiatan membaca buku, menulis essay dan tentu saja hal yang terberat adalah ketika menulis disertasi.

Selain itu, ada hal-hal lain di luar perkuliahan yang cukup mengganggu. Seperti pengalaman kami ketika bermasalah dengan landlord atau pemilik rumah tempat kami menyewa. Kami tidak cukup beruntung untuk mendapatkan landlord yang baik hati. Saat tiba waktunya membayar sewa rumah, sejak pagi hari sang landlord sudah mengirimkan pesan untuk segera membayar. Namun ketika boiler dan heater rusak pada saat musim dingin, kewajiban landlord untuk memperbaiki terus menerus ia tunda hingga satu bulan, dan akhirnya baru diperbaiki ketika hal ini dilaporkan pada student union. Padahal hidup tanpa heater atau pemanas ruangan saat musim dingin bagaikan hidup dalam badai salju. Kedzoliman yang paling kami rasakan adalah ketika landlord menolak untuk mengembalikan uang deposit kami, tanpa alasan apapun. Pesan bagi siapapun yang hendak tinggal di luar negeri, jangan langsung tergoda pada tempat tinggal yang bagus atau harga yang murah, namun terlebih dahulu periksa dengan teliti bagaimana perilaku pemiliknya. Biasanya di internet ataupun di media sosial selalu ada testimonial mengenai perilaku landlord. Hal ini yang luput kami periksa sebelum memutuskan untuk menyewa rumah.

Namun tidak berarti kehidupan di Inggris hanya berisikan kegalauan, tentu ada cerita-cerita indah untuk dikenang. Salah satu kota yang berkesan bagi saya dan suami adalah Liverpool. Suami saya sejak lama ingin “naik haji” ke Stadion Anfield, markas klub bola sepak kesayangannya. Maka kami pun mencari tiket untuk menonton pertandingan di Anfield dan mendapatkan tiket untuk pertandingan persahabatan antara Liverpool dan klub asal Jerman Bayer Leverkusen.

Keesokan harinya, giliran saya yang memenuhi hasrat untuk napak tilas grup musik legendaries The Beatles. Dengan membayar £16,5 (sekitar Rp 250.000 ) per orang, kami menjelajahi masa lalu dengan rombongan Magical Mystery Tour. Diiringi alunan lagu-lagu The Beatles, kami memulai perjalananan dengan singgah ke rumah masa kecil Ringo Starr, melewati kediaman keluarga George Harrison, mengunjungi rumah dimana John Lennon menghabiskan masa remaja dan bertandang ke rumah dimana Paul McCartney menulis ratusan lagu.

Kami melewati taman dimana pada musim panas beberapa dekade lalu, ibu dan ayah John Lennon bertemu dan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Beberapa tahun kemudian mereka menikah, dan lahirlah John Lennon. Bagi masyarakat Liverpool, taman ini sangat berarti, karena tanpa taman ini, mungkin dunia tidak akan pernah memiliki musisi sekaliber John Lennon.

Namun tiada yang lebih menyentuh selain melewati jalan kecil bernama Penny Lane sambil mendengarkan alunan:

“Penny Lane is in my ears and in my eyes
There beneath the blue suburban skies
I sit, and meanwhile back


In Penny Lane there is a fireman with an hourglass
And in his pocket is a portrait of the Queen.
He likes to keep his fire engine clean
It’s a clean machine”

Sejak kecil telinga saya telah akrab dengan lagu ini, ketika ayah saya memutar lagu Penny Lane melalui kaset karaoke-nya. Dan saat ini, saya sendiri telah tiba pada tempat yang diceritakan dalam lagu itu. Di jalan kecil ini, John Lennon pernah melangkah, pernah bernafas, dan kemudian menulis melodi dari kesehariannya.

Mendekati akhir dari perjalanan, kami melewati Katedral Anglikan St Peter yang megah, gagah, berwarna merah tua dan misterius. Di gereja inilah, John Lennon kecil menghadiri sekolah minggu, bernyanyi di paduan suara gereja, dan membaca injil. Namun tragisnya, beberapa puluh tahun kemudian lonceng gereja ini juga yang mendentangkan misa kematiannya.

Selain itu, perjalanan yang juga berkesan adalah ketika kami mengunjungi Skotlandia. Sebelum benar-benar memulai perjalanan ala The Highlanders ke Skotlandia, kami terlebih dahulu singgah ke Kota Newcastle. Di dekat Newcastle, terdapat sebuah desa kecil bernama Alnwick, yang masih berada di wilayah Northumberland, Inggris bagian utara. Di desa kecil ini, terdapat sebuah kastil yang bagi saya adalah kastil paling istimewa di antara ratusan atau ribuan kastil lainnya di Eropa. Bukan karena Alnwick Castle ini yang paling indah, bukan juga karena ini kastil yang paling besar, tapi karena di kastil inilah film “Harry Potter” melakukan pengambilan gambar. Ya, kastil ini adalah “pemeran asli” dari Hogwarts, yaitu tempat dimana Harry Potter mengasah ilmu sihirnya.

Kastil Alnwick berhalaman sebuah taman sangat luas, yang saat itu dipenuhi bunga-bunga musim panas yang sedang mekaran, air mancur raksasa dan rumah pohon yang bisa dinaiki orang dewasa. Memasuki kastil milik Duke of Northumberland ini, tentu akan membuat rakyat jelata seperti kita menjatuhkan dagu dan ternganga-nganga. Kediaman bangsawan Inggris yang kaya raya lebih dari 12 generasi ini memang keterlaluan indahnya. Kertas dindingnya terbuat dari sutera, peralatan makannya terbuat dari emas dan perak, lukisannya bagaikan nirwana dan patung-patungnya dibuat oleh pemahat terbaik pada zamannya. Saya tidak pernah membayangkan, ada manusia yang kaya raya turun temurun dan mendarah daging seperti itu. Apabila bangsawan Inggris saja bisa sekaya ini, bagaimana kayanya Ratu Elizabeth II ya? Hmmmm….

Kemudian perjalanan menuju tanah Skotlandia kami tempuh dengan menyewa mobil, dan saya bisa mengatakan, inilah cara terbaik menuju Skotlandia dari Inggris. Sepanjang perjalanan, mata kita dimanjakan dengan hamparan hijau padang rumput yang seakan tidak berujung. Ratusan domba gemuk berbulu putih mengunyah rumput seakan tidak ada kenyangnya. Rumah-rumah di pedesaan yang mungil dengan cerobong asapnya, mengingatkan saya pada rumah peri yang saya baca dalam dongeng-dongeng karya Enid Blyton saat saya masih kanak-kanak. Rasanya saya ingin berguling-guling di atas permadani raksasa yang terbuat dari rumput hijau itu.

Tidak jauh dari perbatasan Inggris dan Skotlandia, kami tiba di semua desa sepi yang bernama Jedburgh. Di desa ini, terdapat sebuah biara tua yang kini hanya tersisa puing-puingnya saja. Namun demikian, puing yang tersisa tetap dijaga dengan baik sehingga masih terlihat sisa-sisa kegagahannya di masa lampau. Di bawah biara itu, terdapat sungai kecil yang mengalirkan air yang jernih dan dingin. Ah..inikah Skotlandia? Bila bumi bisa seindah ini, bagaimana lagi Tuhan menciptakan keindahan surga?

Kami menginap di ibukota Skotlandia, yaitu Edinburgh. Kami sangat beruntung karena mendapatkan apartemen yang sangat bagus dengan harga murah. Di apartemen ini telah tersedia dapur dengan alat masak yang lengkap, sehingga saya bisa tetap memasak makanan sehat untuk buah hati saya.

Perjalanan kami di Skotlandia semakin lengkap ketika mengunjungi desa kecil bernama Pitlochry dan Kota St. Andrews. Di Pitlochry, kami berhenti untuk makan siang di pinggir sungai yang tepinya berbatu-batu. Di atas sungai itu, terbentang sebuah jembatan gantung yang bergoyang-goyang ketika kita menitinya. Menu makan siang saya saat itu cukup sederhana, hanya sebuah roti gandum berisi salmon asap yang berasal dari sungai di Skotlandia. Saya menyeruput teh Inggris yang diberi sedikit susu, rasanya tidak lebih baik dari teh Sariwangi yang ada di kampung halaman, namun pemandangan yang terhampar di hadapan saya membuat semuanya terasa nikmat.

Kemudian perjalanan kami hari itu ditutup dengan kunjungan ke Kota St Andrews, sebuah kota tua tempat berseminya cinta Pangeran William dan Kate Middleton. Kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju tebing yang langsung berhadapan dengan laut. Angin bertiup dengan kencang, membuat rambut saya berhamburan ke arah muka. Burung bangau dan pelikan berkejaran, bersahutan, berebut ikan hasil tangkapan hari itu. Tak jauh dari tebing, sebuah katedral tua yang berasal dari abad ke-13 bertahan untuk tetap berdiri. Senyap dan renta, namun masih menyisakan keangkuhan dari masa lalu.

* * * * *

Kita adalah bagaimana kita menyusun masa lalu, menjalani hari ini, dan bermimpi untuk masa depan. Tidak ada kesulitan yang tidak akan mengandung kemudahan, dan tidak ada kemudahan yang semuanya indah. Hidup adalah keseimbangan, pada saat yang bersamaan kita bisa merasakan kegetiran dan kebahagiaan sekaligus.

Ketika orang lain mendongeng tentang indahnya negeri orang, betapa teraturnya kehidupan mereka, betapa kaya dan gemah ripah loh jinawi-nya mereka, jangan lupa untuk mengingat betapa kita beruntung menjadi orang Indonesia. Tuhan memerintahkan kita untuk mengembara, untuk menjelajah negeri yang jauh, hingga batas kemampuan kita. Setelah mendatangi beberapa negara lain, saya baru mengerti mengapa Tuhan memerintahkan kita untuk menjadi penjelajah.

Di dalam pengembaraan kita melihat keagungan Tuhan, kita melihat kebesaran Tuhan yang tidak pernah kita saksikan di negeri tempat kita berasal. Namun pada saat yang bersamaan, ada rasa rindu pada kampung halaman, pada keluarga, pada bau tanah, hujan dan rumput di tempat kita dilahirkan. Saya mensyukuri nikmat Tuhan yang mengizinkan saya untuk sampai di negeri asing ini, namun pada saat yang bersamaan, saya juga bersyukur karena terlahir sebagai orang Indonesia. Sebuah tempat dimana matahari bersinar sepanjang hari, sepanjang minggu dan sepanjang tahun. Jika orang-orang Eropa menanti musim panas sepanjang tahun, kita di Indonesia memiliki musim panas abadi! Ketika orang Eropa harus puas memenuhi lidahnya dengan makanan hambar, kita beruntung karena makanan kita dipenuhi dengan rempah yang paling lezat di dunia.

Namun seringkali kenikmatan yang kita dapatkan setiap hari, luput oleh keluhan yang mencemooh bangsa dan tanah air sendiri. Karena itu, mengembaralah kawan! Mengembara hingga kakimu letih untuk melangkah, dan menjelajah hingga dompetmu terlalu tipis untuk mengeluarkan uang. Karena di dalam perjalanan, Engkau akan menemukan keindahan Tuhan. Karena dalam perjalanan, Engkau akan mencintai kampung halamanmu lebih dari sebelumnya

* * * * *

Tussie Ayu

A freelance writer, a news correspondent, a Master of Communication student in Victoria University of Wellington.

Recommended Articles

2 Comments

  1. Bila bumi bisa seindah ini, bagaimana lagi Tuhan menciptakan keindahan surga? << Suka banget dgn kalimat ini..

    …Dan sepertinya kalian akan menjadi kisah habibi&ainun selanjutnya hehee

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *