Akhir-akhir ini, kata blusukan menjadi kosa kata yang akrab di telinga. Para pemimpin kita tengah getol menyambangi langsung rakyatnya ke pedesaan atau perkampungan. Sejak masa kampanye, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sudah dikenal sering mengunjungi perkampungan kumuh. Beberapa hari lalu, Presiden SBY pun melakukan kunjungan mendadak ke perkampungan nelayan kumuh di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten.
Kunjungan-kunjungan pemimpin kita ini mengingatkan saya ketika “blusukan” ke sebuah desa bernama Saltaire, yang terletak di West Yorkshire, sekitar Inggris bagian tengah. Jika pedesaan di Indonesia identik dengan ketertinggalan, kemiskinan dan kekumuhan. Namun di Inggris justru hal sebaliknya yang terjadi, pedesaan justru menjadi panutan prinsip-prinsip tata kota yang menginspirasi kota-kota besar lain di Inggris, bahkan di seluruh dunia. Ketika tiba di Saltaire, mata saya langsung dimanjakan dengan keindahannya. Sungai berkelok-kelok dengan barisan angsa putih berenang di permukaannya. Pada musim panas, keindahan desa semakin terpancar dari bunga-bungaan yang telah bermekaran dengan beraneka warna. Suasananya mengingatkan pada gambaran pedesaan Inggris yang digambarkan dalam buku-buku cerita anak karya Enid Blyton.
Secara etimologi, Saltaire berasal dari dua kata, yaitu “Salt” dan “Aire”. Aire adalah nama sebuah sungai yang melintasi desa ini, sedangkan Salt bukan berasal dari kata garam dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan garam. Kata Salt dalam Saltaire berasal dari nama Sir Titus Salt, seorang tokoh pendiri desa.
Desa Saltaire dibangun pada tahun 1851 oleh Sir Titus Salt, seorang pengusaha industri wol yang berasal dari Yorkshire. Awalnya dia membangun pabrik pemintalan benang wol di kota Bradford, namun kemudian memindahkannya ke sebuah tempat di dekat kota Shipley, hanya berjarak belasan kilometer dari Bradford untuk membangun pabrik yang lebih besar.
Warisan Saltaire Bagi Dunia
Daya tarik desa ini bukan hanya terletak pada keindahan alamnya, namun juga pada faktor historis yang tetap melekat dan dipertahankan hingga saat ini. Saltaire membawa warisan kepada dunia tentang penataan sebuah pedesaan modern, yang hingga kini masih digunakan sebagai model oleh kota-kota di seluruh dunia.
Pada tahun 2001, Saltaire ditetapkan UNESCO sebagai World Heritage Site karena dipandang dapat menjadi contoh sebuah kawasan industri pada abad ke-19 yang telah membangun standar arsitektur yang tinggi. Hal ini bisa dilihat dari pabrik pemintalan benang, bangunan fasilitas publik dan perumahan bagi para pekerja yang telah ditata seperti standar tata kota modern.
Sir Titus Salt membangun perumahan yang rapi bagi para pekerja di pabrik pemintalan benang wol yang didirikannya. Perumahan ini bahkan jauh lebih baik daripada kawasan perumahan bagi para pekerja di Bradford, sebuah kota metropolitan yang lebih modern dibandingkan Saltaire. Rumah itu dilengkapi dengan air keran, kamar mandi yang terletak di dalam rumah dan dapur yang terpisah dengan ruangan lainnya. Hal demikian mungkin sudah biasa pada perumahan yang ada pada saat ini. Namun pada abad ke-19, penataan rumah yang begitu rapi pada rumah seorang buruh pabrik adalah sesuatu yang luar biasa. Selain itu, desa ini juga dilengkapi dengan sebuah rumah sakit, panti jompo dan institut rekreasi dan pendidikan, yang dilengkapi dengan perpustakaan, ruang membaca, ruang konser, olahraga biliar, laboratorium ilmu pengetahuan dan sebuah gymnasium.
Saltaire juga memiliki sekolah khusus untuk anak-anak buruh pabrik, rumah penampungan bagi warga tidak mampu, taman dan rumah perahu. Kombinasi antara perumahan, ketenagakerjaan dan pelayanan publik ini dipandang sebagai pembangunan yang penting dalam sejarah abad ke-19, terutama dalam bidang tata kota. Karena itulah UNESCO pun menobatkan desa kecil ini sebagai World Heritage Site.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, pedesaan justru menjadi hal yang terlupakan dalam arus pembangunan. Kesenjangan antara pedesaan dan perkotaan begitu besar, sehingga mengakibatkan tingginya arus urbanisasi dan perekonomian yang tidak merata.
Saltaire mengingatkan saya pada beberapa hal; yang pertama adalah pada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang mengatakan, pembangunan kota diawali dari pembangunan di perkampungan dan pedesaan. Tampaknya anggapan itu benar adanya, karena Inggris telah membuktikannya sejak 200 tahun yang lalu.
Kedua, bahwa pembangunan bukan mutlak didominasi oleh pemerintah. Pihak swasta pun seharusnya punya andil dalam pembangunan pedesaan. Hal ini dicontohkan oleh Sir Titus Salt yang notabene adalah seorang pengusaha, namun turut berkontribusi besar untuk membangun pedesaan.
Ketiga, pengusaha Indonesia cenderung membangun perekonomian di kota-kota besar. Jika melihat pada sejarah kota Saltaire, Sir Titus Salt justru memindahkan industrinya dari Bradford Metropolitan City ke sebuah desa kecil. Dia membangun pedesaan dan mengangkat perekonomian masyarakat desa. Di Indonesia, dibutuhkan keberanian pengusaha untuk melebarkan usahanya tidak hanya pada kota-kota besar, namun juga ke pedesaan untuk meningkatkan perekonomian rakyat desa.
Jika Inggris telah melakukan pembangunan yang berbasis pedesaan sejak abad ke-19, apakah kita menampik fakta bahwa pedesaan adalah salah satu elemen penting yang harus digerakkan lebih dahulu untuk memulai pembangunan? Terlambat 200 tahun saya pikir lebih baik daripada tidak memulai sama sekali.