oleh: Tussie Ayu Riekasapti

Hari beranjak semakin malam, ketika saya dan kekasih saya mulai membicarakan tentang hal ini. Hal yang entah mengapa kami bahas. Pembicaraan mengalir begitu jauh, hingga kami membicarakan tentang usia ibu. Saya tidak ingat, apa yang mengawali pembicaraan itu. Tapi yang saya ingat, pembicaraan ini berakhir ketika saya menyadari, saya lupa memberi kabar kepada ibu, bahwa malam ini saya terlambat pulang.

Malam itu, dalam keremangan saya mengendap-endap masuk ke dalam rumah. Lampu telah dipadamkan,namun samar dalam kegelapan saya masih bisa melihat satu buah piring bersih dan sepasang sendok garpu, masih tertata apik di atas meja makan. Tudung saji masih tertelungkup, di dalamnya ada nasi dan lauk pauk yang sudah dingin. Ibu pasti menunggu saya hingga ambang batas rasa kantuknya. Ketika saya tak kunjung pulang, kemudian dia memutuskan untuk tidur.

Saya merebahkan diri di atas tempat tidur dan mulai menghitung. Tahun ini ibu saya berusia 61 tahun. Ibu lahir pada hari bersejarah, dirayakan oleh rakyat Indonesia. Hari kartini, 21 April 1951. Karena itu, kakek saya memberinya nama “Harini”, kependekan dari Hari Kartini.

Selama ini saya selalu ingat ulang tahun ibu, saya pun tidak pernah absen memberinya kado ulang tahun. Tapi saya selalu enggan untuk menghitung usianya. Karena di mata saya, berapapun usianya, ibu selalu terlihat cantik. Dan ini bukan pendapat saya seorang karena saya anaknya. Ibu saya terlihat 10 tahun lebih muda dari usia sesungguhnya, banyak yang mengatakan demikian. Badannya masih langsing, hanya perutnya saja yang sedikit buncit. Rambutnya masih indah, bergelombang, legam dan tebal. Gerakannya pun masih gesit. Dia kerap menyetir mobil seorang diri, menjemput satu per satu teman-temannya untuk pergi pengajian.

Keesokan paginya, seperti biasa ibu melepas saya pergi ke kantor. Ia selalu membantu saya membawa barang-barang yang saya perlukan, mulai dari dokumen-dokumen, tas, hingga bekal makan siang. Saya menciumnya, dan berpamitan pergi kerja. Sekelebat, saya melihat sehelai rambut putih tersembul di sela-sela rambut hitamnya. Entah mengapa, ada rasa perih yang menjalar di dada saya.

Saya masuk ke dalam mobil. Dari kaca jendela, saya melihat dan melambai kepadanya. Guratan-guratan itu terlihat jelas di wajahnya, ada garis-garis tipis yang melintang di dahi atasnya, di pipinya, di dagunya dan di lehernya. Itu yang disebut orang-orang sebagai keriput. Tapi saya tidak mau menyebut keriput di wajah ibu, karena saya terlalu takut menyadari bahwa ia semakin tua.

Tua memang ada, tua memang alamiah, semua orang pasti beranjak tua. Tapi, apakah waktu tidak bisa menghentikannya untuk ibu saya? Saya selalu menganggap semua orang bisa tua, kecuali ibu saya. Lihatlah tangannya, dia masih bisa menimang cucunya cukup lama. Lihatlah kakinya, dia bisa menginjak pedal mobil untuk menyetir menuju ke tiga tempat berbeda dalam satu hari. Lihatlah matanya, kilatan itu tidak pernah berubah sepanjang waktu yang bisa saya ingat. Ibu tidak boleh bertambah tua. Tidak boleh.

Tapi hari ini…saya menyadari, ibu tidak bisa melawan alam. Meskipun orang lain bisa tertipu dengan penampilannya, tapi saya tahu, dulu guratan itu tidak sejelas saat ini. Dulu kulitnya bersih dan kencang, tapi kini mulai mengendur. Dulu dia memiliki tulang pipi tirus yang indah, tapi kini mulai tersamar. Adakah yang bisa menghentikannya? Tolong hentikan itu untuk ibu saya. Saya tidak bisa menerima bahwa ia bertambah tua.

Dulu, saya dekat sekali dengannya. Saya suka menciumnya, saya suka memeluknya. Dan saya suka melihatnya tertawa. Tapi saya kurang sekali menunjukkan bahwa saya sayang padanya. Saya terlalu sibuk dengan dunia saya, sampai terkadang saya lupa, bahwa saya sayang sekali padanya.

Kini, saya seringkali berselisih dengannya. Saya lupa, telah banyak yang berubah. Ingatannya tidak setajam dulu. Kesabarannya tidak setebal dulu. Kini, ia juga sering berperilaku seperti anak kecil yang membuat kesabaran saya habis.

Ia sering protes, “Kamu ngga sayang Ibu,” katanya. Protes itu datang karena saya memang jarang sekali meneleponnya. Dia yang lebih sering menelepon saya. Terakhir kali saya merasa benar-benar kangen padanya mungkin 15 tahun lalu, sewaktu kami tinggal di kota berbeda, dan berbulan-bulan tidak bertemu.

Tapi kali ini begitu saya tiba di kantor, saya sudah merasakan kangen yang amat sangat padanya. Padahal baru saja saya bertemu dengan ibu. Terbayang lagi guratan-guratan di wajahnya, apa yang bisa saya lakukan untuk menjauhkannya dari tua?

Ibu, nanti saya belikan kosmetik termahal. Saya tidak suka guratan itu, saya mau menghalaunya pergi. Saya tidak suka rambut putih itu. Saya mau mencabutnya, agar rambutmu tetap hitam semua.

Saya mengambil telepon selular, kemudian menelepon ibu. Di seberang sana, suaranya ceria tanpa beban.
“Ade, kenapa? Tumben telepon ibu? Apa ada barang kamu yang ketinggalan?”
Entah mengapa, demi mendengar suaranya, seperti ada sesuatu yang memberontak ingin keluar dari tenggorokan saya, namun tak bisa. Saya tercekat.
Ngga apa-apa, cuma mau telepon saja,”
Ah.. hanya kalimat itu yang bisa keluar dari bibir saya.

Lalu ibu mulai membombardir saya dengan cerita-cerita yang sepertinya sudah lama ingin dia ceritakan, namun entah mengapa, baru sekarang sempat ia ceritakan.

Pembicaraan telepon itu ditutup dengan pertanyaan, “Kamu pulang jam berapa? Mau makan malam di rumah ngga? Mau dimasakin apa?”
Senyum saya mengembang, lalu menjawab, “Mau ayam goreng serabut, sayur asem dan sambel.”
“Siap!” kata ibu.
“Ya sudah, saya kerja lagi ya bu,”
“Oke,” kata ibu.

Ketika saya akan menutup telepon, ibu berkata, “De, makasih ya sudah menelepon ibu. Ibu senang, sering-sering ya telepon ibu.”
Saya menjawab, “Iya bu.”

Kemudian telepon ditutup, dan sebutir air mata jatuh di pipi saya. Tua, tolong menjauh dari ibu.

***

Tussie Ayu

A freelance writer, a news correspondent, a Master of Communication student in Victoria University of Wellington.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *