Oleh Tussie Ayu Riekasapti
ADA hal yang harus kita kritisi dalam pendidikan di Indonesia, yaitu sistem penjurusan di SMU. Saya merasakan sendiri, betapa kurikulum 1994 begitu memberatkan siswanya, terutama sistem penjurusannya yang saya nilai tidak efektif.
Pada kurikulum 1994, siswa SMU memasuki jurusan pada kelas tiga, sesuai dengan nilai-nilai yang diperolehnya selama kelas dua (bukan berdasarkan minat). Ada tiga jurusan yang dapat menjadi pilihan siswa, yaitu IPA, IPS dan bahasa. Namun sebagian sekolah hanya memiliki jurusan IPA dan IPS, karena kurangnya tenaga guru bahasa asing.
Saya adalah siswa IPS, dan saya ingat benar, IPA adalah jurusan favorit. Sehingga stereotipe siswa IPA adalah siswa-siswa pintar. Sedangkan stereotipe siswa IPS adalah siswa bodoh dan malas, sehingga ketika pertama kali saya masuk kelas tiga, yang pertama kali dilakukan guru saya adalah membangun mental siswa-siswa IPS agar kami tidak merasa sebagai orang bodoh yang tidak memiliki masa depan. Guru saya meyakinkan bahwa masa depan siswa IPS sama cerahnya dengan masa depan siswa IPA.
Mengapa sampai tercipta stereotipe seperti itu? Penyebab pertama adalah minimnya pengetahuan masyarakat mengenai jurusan-jurusan yang ada. Jurusan IPA mencakup mata pelajaran matematika, fisika, kimia dan biologi. Sedangkan IPS adalah jurusan yang mencakup mata pelajaran sosiologi, antropologi, tata negara, ekonomi dan akuntansi. Di luar pelajaran-pelajaran itu, ada juga pelajaran-pelajaran wajib seperti PPKN, agama, bahasa Indonesia, dan lain-lain yang wajib dipelajari semua jurusan. Di Indonesia, orang yang mampu menguasai pelajaran eksakta seperti matematika, fisika dan kimia dianggap pintar. Sedangkan pelajaran non eksakta dianggap ilmu yang bisa dipelajari semua orang, jadi tidak ada istimewanya orang yang mempelajari ilmu-ilmu sosial.
Penyebab kedua, kurikulum pendidikan yang tidak efektif. Untuk itu, ada baiknya kita melihat ke belakang, kurikulum apa saja yang pernah diterapkan di Indonesia?
Metamorfosis Kurikulum Pendidikan Indonesia
Pada tahun 1975, SMU (ketika itu SMA) memakai sistem penjurusan IPA, IPS dan bahasa. Pada tahun 1984, SMU (SMA) dibagi menjadi dua jurusan, yaitu A dan B. Program A dibagi menjadi A1, A2, A3 dan A4. A1 terfokus pada pelajaran matematika dan fisika, A2 pada kimia dan biologi, A3 pada ekonomi dan akuntansi, A4 pada bahasa dan sastra. Program B dibagi menjadi B1, B2, B3 dan B4. Namun pada kenyataannya, program B tidak berhasil dan tidak pernah terdengar gaungnya di lapangan. Kurikulum 1984 kemudian diganti Kurikulum 1994. Dalam Kurikulum 1994 yang masih dipakai hingga kini, penjurusan di SMU kembali menjadi tiga seperti Kurikulum 1975, yaitu IPA, IPS, dan bahasa.
Ketika saya masih SMU, penjurusan dilakukan tatkala siswa duduk di kelas tiga. Kini, penjurusan dilakukan ketika siswa duduk di kelas dua. Namun ada beberapa SMU yang belum menjuruskan siswanya pada kelas dua. Kemungkinan penjurusan pada kelas dua SMU di seluruh Indonesia, baru dilaksanakan pada tahun ajaran baru nanti.
Sistem penjurusan seperti sekarang ini (kurikulum 1994) memiliki beberapa kekurangan. Pertama, beban siswa sangat berat. Sebelum penjurusan (selama kelas satu dan dua) siswa dibebani tidak kurang dari tiga belas mata pelajaran yang mencakup semua disiplin ilmu, seperti matematika, fisika, kimia, biologi, sosiologi, geografi, bahasa Indonesia, ekonomi dan lain-lain. Jarang sekali ada manusia yang bisa menguasai begitu banyak disiplin ilmu. Apabila seseorang menguasai matematika dan fisika, belum tentu ia menguasai sosiologi dan ekonomi, begitu juga sebaliknya. Hanya siswa yang super jenius yang bisa menguasai semua pelajaran itu. Jadi kurikulum ini hanya diciptakan untuk superman dan supergirl!
Kedua, siswa tidak bisa memaksimalkan potensi yang ia miliki, sehingga menghambat untuk mencapai cita-cita. Hal ini dikarenakan konsentrasi siswa akan terbagi untuk beberapa pelajaran, bahkan setelah ia memasuki penjurusan. Misalnya seorang siswa ingin menjadi dokter, maka yang harus ia kuasai adalah pelajaran biologi dan kimia. Sedangkan dalam jurusan IPA, ia tetap harus mempelajari matematika dan fisika. Sehingga rata-rata nilai yang ia peroleh tetap saja jelek, karena mendapatkan nilai jelek pada pelajaran matematika dan fisika. Dengan sistem pendidikan seperti ini, potensi dan minat siswa belum tergali secara mendalam.
Klasifikasi Kecerdasan Manusia
Menurut Howard Gardner seorang peneliti ternama di Harvard, ada delapan macam kecerdasan atau inteligensia (Hernowo, “Mengikat Makna, Mengubah Paradigma Membaca dan Menulis Secara Radikal”, Kaifa, Bandung, 2002).
Pertama, kecerdasan linguistik. Yaitu kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan verbal. Orang yang memiliki kecerdasan linguistik cenderung piawai dalam menulis, membaca, berbicara dan berdebat. Kecerdasan jenis ini kebanyakan dimiliki oleh pengarang, penyair, atau orator.
Kedua, kecerdasan logika matematika, yaitu kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam perangkaan, pengenalan pola, dan bermain dengan argumentasi yang logis. Kecerdasan jenis ini biasanya dimiliki oleh para ilmuwan, ahli matematika, pengacara atau hakim.
Ketiga, kecerdasan spasial (spacial), yaitu kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan untuk berpikir secara “meruang” atau menciptakan dan menyusun kembali suatu citra atau situasi tertentu. Kecerdasan ini dapat kita temui pada orang-orang yang berprofesi sebagai arsitek, pematung, pelukis, navigator, ataupun pilot.
Keempat, kecerdasan musikal, yaitu kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan seseorang menciptakan irama. Kecerdasan ini dimiliki oleh orang-orang yang berprofesi sebagai musisi, komposer, atau pemimpin orkestra.
Kelima, kecerdasan kinestetik, yaitu kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan seseorang menggerakkan tubuh atau hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas fisik. Kebanyakan kecerdasan ini dimiliki oleh atlet, pedansa dan pesenam.
Keenam, kecerdasan interpersonal, yaitu kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Biasanya dimiliki oleh salesman, negosiator dan orang-orang yang mampu membangkitkan motivasi.
Ketujuh, kecerdasan intrapersonal, yaitu kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam memahami dirinya. Orang yang memiliki kecerdasan ini mampu merenungkan dirinya dan kemudian mengekspresikan dirinya secara kuat. Kecerdasan jenis ini biasanya dimiliki oleh psikolog atau filsuf.
Kedelapan, kecerdasan naturalis, yaitu kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan alam secara harmonis. Kecerdasan ini ada pada para pencinta alam atau penyayang binatang.
Setiap manusia minimal memiliki satu dari delapan kecerdasan itu. Namun sayangnya, tidak semua orang dapat menemukan kecerdasannya. Delapan kecerdasan ini tentu tidak akan dapat ditemukan hanya dengan sistem penjurusan IPA, IPS dan bahasa. Bagaimana dengan orang yang memiliki kecerdasan musikal, kinestetik atau intrapersonal? Selama ini kita hanya terpaku pada kecerdasan logika matematik. Padahal parameter kecerdasan seseorang bukan hanya diukur dari kecerdasannya dalam bidang matematika atau fisika.
Saran saya, sebagai salah seorang yang merasakan beratnya kurikulum 1994 adalah, pertama, penjurusan sudah dilakukan ketika siswa masuk SMU. Untuk itu, sejak SLTP siswa sudah dibekali dengan pelajaran untuk mendukungnya di jurusan yang akan dipilih sesuai minat.
Kedua, sistem penjurusan dikembalikan lagi seperti kurikulum 1984, sehingga diharapkan pengetahuan dan keahlian siswa lebih spesifik dengan penjurusan yang lebih efektif.
Ketiga, ditambahnya alokasi dana untuk ekstrakurikuler. Kemudian disediakan satu hari khusus untuk ekstrakurikuler, sehingga kecerdasan siswa yang tidak tergali di ruang kelas seperti kecerdasan musikal dan naturalis, dapat terasah melalui ekstrakurikuler.
Dengan demikian, kecerdasan siswa diharapkan bisa tergali sebagai bekal untuk menentukan minat dan jurusan yang akan mereka pilih selepas dari SMU. Dengan jurusan yang mereka minati dan sesuai dengan kecerdasan mereka, mudah-mudahan mereka tidak terbebani dengan banyaknya pelajaran yang sebenarnya tidak sesuai dengan kecerdasan masing-masing. Cukup saya dan ribuan orang lain yang merasakan beratnya kurikulum 1994. Semoga pemerintah bisa memperbaiki kurikulum dan sistem penjurusan, sehingga tercipta tunas-tunas bangsa yang unggul.
Mahasiswa jurusan Jurnalistik Fikom Unpad, alumnus SMUN 70 Jakarta
Tulisan ini dimuat di Harian Pikiran Rakyat sekitar tahun 2004 atau 2005.