oleh: Tussie Ayu Riekasapti
Lima buah roket berwarna biru tua tertancap di lapangan rumput luas. Berat roket itu hanya 4,5 kilo gram. Panjangnya hanya satu meter lebih sedikit. Roket-roket mini ini tengah menunggu diluncurkan.
Tak lama kemudian, dua orang remaja lelaki dan seorang lelaki dewasa berlarian menghampiri roket itu. Kedua remaja lelaki itu berpakaian seragam SMA, dan lelaki dewasa itu mengenakan baju dan celana putih berlogo Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Dengan cekatan, mereka memeriksa kesiapan roket untuk meluncur. Tahap pertama, dua roket dulu yang akan dibumbungkan ke langit. Setelah dirasa siap, mereka berlari kecil menjauh. Di jarak sekitar lima meter dari roket, dua orang remaja puteri, yang juga berseragam SMU siap menekan tombol.
Kemudian, sirine dibunyikan, dan tombol ditekan. Wuzzz!!! Kedua roket meluncur membelah lagit. Asapnya disisakan di darat untuk penonton. Sedangkan payload yang berada di ujungnya menyemburkan parasut mini. Parasut berwarna oranye cerah itu perlahan-lahan menyentuh tanah.
Hadirin bertepuk riuh. Tapi belum puas, karena masih ada tiga roket lagi yang menunggu giliran untuk diluncurkan. Maka kedua remaja lelaki berseragam SMA tadi, kembali mempersiapkan ketiga roket yang tersisa. Mereka masih dibimbing oleh pria dewasa yang sama.
Ketika sedang serius menyiapkan roket ketiga, tiba-tiba…dorrr!!! Terdengar bunyi menggelegar. Serta merta ketiga orang ini tiarap sambil memegang kepala. Roket yang satu ini ternyata sedikit ‘nakal’. Ia telah meledak sebelum diinstruksikan. Sesaat hadirin yang menyaksikan terdiam.
Namun, ketika melihat mereka kemudian bangun dan cengengesan, para hadirin pun tertawa. “Mungkin roketnya grogi karena dilihat Kepala LAPAN dan Kepala Staf Angkatan Laut,” kata pemandu acara.
Sisa roket yang masih ada, kemudian diluncurkan. Namun sayang, perjalanan terbangnya kali ini tidak seindah yang pertama. Alih-alih menusuk angkasa dengan kecepatan tinggi, ia malah terbang ndut-ndutan. Asap yang ditinggalkan di darat pun cukup banyak dan baunya menusuk hidung. Tapi ini malah menjadi tontonan yang mengasyikkan. Para penonton pun tertawa melihat polah si roket mini.
Itulah aksi dari pelajar SMA yang juga bisa membuat roket mini. Roket ini, dinamakan Roket Dextrose seri RDX-70. Nama bekennya adalah roket gula, karena memang bahan bakarnya adalah gula.
Atraksi peluncuran roket ini, dilakukan di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat, Selasa (19/6) lalu. Dalam acara yang sama, LAPAN meluncurkan roket buatan sendiri yang diharapkan menjadi cikal bakal kemandirian industri pertahanan dalam negeri. Kepala LAPAN Adi Sadewo Salatun dan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Slamet Soebijanto turut menyaksikan para calon ilmuan Indonesia ini meluncurkan roket buatan mereka.
LAPAN dan Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PPIPTEK) selama tiga bulan terakhir, memang mengajarkan beberapa siswa SMA untuk membuat roket. Siswa-siswa yang diajarkan adalah siswa SMA di sekitar lingkungan LAPAN di Rumpin, Bogor.
Ide pengajaran roket untuk siswa SMA ini, menurut Koordinator Sosialisasi Roket Dextrose Atik Bintoro, muncul karena siswa kelas 2 SMA telah diajarkan teori roket dalam pelajaran fisika. “Kalau hanya belajar teori kan tidak seru. Tapi kalau langsung dipraktikkan, akan menarik untuk siswa,” katanya.
Namun demikian, menurut Atik, tidak semua materi pembuatan roket diberikan pada siswa SMA. “Kalau semua diberikan, kami takut malah digunakan untuk hal yang lain. Misalkan untuk tawuran,” katanya.
Untuk pengetahuan bahan bakar, hanya garis besarnya yang diberikan pada siswa SMU. Sedangkan untuk hitung-hitungan rumus fisika dan kimia pada roket, diajarkan pada mereka. “Siswa juga bisa mengkreasikan campuran bahan bakar. Tidak harus gula. Mereka juga bisa menghitung dan mengkreasikan tabung dan sirip roket,” ujar Atik.
Ia melanjutkan, hal ini dapat merangsang kreativitas siswa. Karena mereka bisa mengisi bahan bakar sesuai kreasi. “Payload roket bisa diisi macam-macam. Sirip roket juga bisa dikreasikan bermacam bentuk,” tambahnya.
Selain untuk siswa SMA, pendidikan roket juga telah diberikan pada siswa SMP. Menurut Atik, bagi siswa SMP diberikan pendidikan membuat roket air. Pada dasarnya, cara kerja roket gula sama dengan roket air. Namun seperti namanya, roket air menggunakan bahan bakar air.
Untuk satu roket gula, menurut Atik bisa menghabiskan biaya sebesar Rp 150 ribu – Rp 200 ribu. Meskipun cukup mahal, namun pengetahuan ini layak dicoba bagi siswa. Apalagi saat ini kurikulum Departemen Pendidikan Nasional adalah kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum ini mengutamakan kemampuan siswa, yang sejalan dengan pola belajar membuat roket.
Setelah teori membuat roket dipelajari, layaknya juga praktik membuat roket dilakukan. Dua puluh tahun mendatang, niscaya Indonesia akan kaya dengan ilmuan-ilmuan yang siap mendukung industri pertahanan dalam negeri. Semoga!
(Dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 22 Juni 2007)