Suatu hari raja hutan tengah mengadakan tes penyetaraan di antara penghuni rimba. Ada berbagai tes yang harus mereka ikuti, di antaranya adalah berlari kencang, terbang tinggi, memanjat pohon dan berenang. Kuda adalah peserta pertama, dia mendapatkan nilai 90 untuk bidang berlari kencang, namun apa daya, ketika mengikuti tes terbang tinggi, dia gagal total dan hanya mendapatkan nilai 20. Peserta kedua adalah burung, dia mendapatkan 100, nilai sempurna di bidang terbang tinggi. Tapi ketika mengikuti tes memanjat pohon, dia terjatuh dan mendapatkan nilai 20. Peserta ketiga adalah kucing, dia mendapat nilai 95 untuk bidang memanjat pohon, tapi mendapatkan nilai 10 untuk bidang berenang. Dan peserta terakhir adalah bebek, yang mendapatkan nilai 100 di bidang berenang, namun gagal di bidang berlari cepat.

Ini adalah gambaran bahwa kecerdasan memiliki spektrum yang luas. Setiap manusia  dianugerahi dengan minat, bakat dan kecerdasan yang berbeda-beda. Hal ini diungkapkan oleh Psikolog Anak Seto Mulyadi dalam Seminar Perkembangan Psikologi dan Pendidikan Anak Diplomat yang diadakan Rabu (5/12) di Kantor Kementerian Luar Negeri.

“Demikian pula dengan cara belajar, setiap anak memiliki cara yang berbeda untuk bisa menyerap pelajaran dengan baik,” kata Seto Mulyadi. Dia kembali menggunakan binatang sebagai analogi, misalkan burung bangau yang bisa meminum air dengan baik dengan wadah botol karena memiliki paruh panjang. Sedangkan kucing kesulitan untuk minum dengan botol, namun dia bisa minum dengan baik ketika air disajikan dengan wadah piring.

Menurut Seto, semua anak pada dasarnya cerdas. Namun sistem pendidikan formal yang ada saat ini tidak mengakomodasi semua kecerdasan yang dimiliki tiap anak, dan hal ini dapat membuat anak frustasi.

Seto Mulyadi mencontohkan bakat yang dimiliki seorang Rudi. Rudi pertama adalah seorang ilmuwan jenius. Dia menciptakan pesawat terbang, pernah menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi, pernah menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia, bahkan menjadi Presiden ke-3 Republik Indonesia. Dia adalah Rudi Habibie (Rudi adalah nama kecil Bacharuddin Jusuf Habibie).

Rudi kedua adalah anak yang enerjik dan suka berolahraga. Dia telah membawa harum nama Indonesia melalui bulu tangkis. Prestasi fenomenalnya yang belum pernah disamai oleh pebulutangkis manapun adalah menjuarai delapan kali All England. Dia adalah Rudi Hartono.

Rudi ketiga, sejak kecil senang bergaya dan berakting. Ketika dewasa, dia memutuskan untuk menjadi aktor. Dia membintangi berbagai judul film Indonesia. Dia adalah Rudi Salam.

Rudi keempat senang sekali bereksperimen dengan gaya rambut. Dia senang mendandani orang lain agar tampil memikat. Kini, jaringan salon dan peralatan tata rambutnya telah tersebar di seluruh Indonesia. Dia adalah Rudi Hadisuwarno.

Terakhir, Rudi kelima sejak kecil senang melihat ibunya memasak. Kebiasaan ini dilanjutkannya hingga dewasa. Kini, dia telah menjadi seorang koki professional yang laris manis tampil di layar televisi. Dia adalah Rudi Choiruddin.

Seperti halnya dengan Rudi-Rudi yang telah disebutkan di atas, dunia telah mengenal nama-nama besar dengan beragam profesi: Albert Einstein adalah seorang ilmuwan jenius; Pablo Picasso adalah seorang pelukis ulung; Wolfgang Amadeus Mozart adalah seorang pianis dan komposer kenamaan; dan Maradonna yang merupakan pesepakbola legendaris. Mereka semua berawal dari anak-anak cerdas dan memiliki bakat yang dihargai orangtuanya.

Mengutip teori Multiple Intelligence yang dirumuskan oleh Howard Gardner, manusia memiliki delapan kecerdasan, yaitu: kecerdasan angka, kecerdasan kata, kecerdasan gambar, kecerdasan musik, kecerdasan tubuh, kecerdasan berteman, kecerdasan diri dan kecerdasan alam. Setiap manusia memiliki setidaknya satu dari kecerdasan-kecerdasan tersebut. Bahkan ada orang-orang tertentu yang memiliki lebih dari satu kecerdasan.

Namun ironisnya, sistem pendidikan di Indonesia hanya menitikberatkan pada kecerdasan angka atau eksakta, yang diwujudkan dalam mata pelajaran matematika, fisika atau kimia. Apakah masa depan Indonesia hanya ditentukan oleh ilmuwan-ilmuwan dari pengetahuan alam saja? Dan menafikkan talenta-talenta lain yang juga dibutuhkan bangsa ini?

“Pendidikan di Indonesia biasanya menganggap baik anak yang patuh, persis seperti mendidik robot. Sekolah menjadi penjara, akibatnya anak menjadi school phobia,” kata Seto Mulyadi. Hal ini menimbulkan dampak anak menjadi gelisah, rendah diri, kurang percaya diri, cepat panik, ingin bunuh diri, agresif dan melakukan kenakalan remaja.

“Kekerasan pada pendidikan di Indonesia adalah kurikulum pendidikan yang tidak berpihak pada anak,” ujar Seto Mulyadi. Dia menambahkan, semua anak pada dasarnya senang belajar, jika belajar dalam suasana gembira.

Karena itulah, Seto Mulyadi menghimbau agar orang tua menghindari kekerasan yang dilakukan oleh keluarga seperti memaksa anak belajar. Orang tua harus menghargai hak anak untuk hidup, tumbuh, mendapat perlindungan, dan hak untuk berpartisipasi dalam wujud didengarkan pendapatnya.

Seto menutup presentasinya dengan mengatakan, “Jangan bermimpi memiliki anak yang penurut. Tapi bermimpilah memiliki anak yang mandiri dan bisa bekerja sama.”

SINDROM ANAK DIPLOMAT

Secara khusus, seminar ini diadakan untuk membahas problematika keluarga diplomat, yang harus menerima konsekuensi dari pekerjaan orang tua. Keluarga diplomat dituntut untuk berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, yang tidak jarang menimbulkan permasalahan psikologis pada anak.

“Dari kondisi ini, memang ada yang bisa memetik hasil yang baik sekali. Misalkan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat saat ini juga adalah anak diplomat, yang bisa mengikuti jejak sukses ayahnya. Namun ada juga yang justru bermasalah dan terlambat diketahui,” ujar Seto Mulyadi.

Anak-anak diplomat memiliki permasalahan adaptasi budaya, sistem pendidikan dan bahasa. Salah seorang peserta seminar mengungkapkan pengalaman anak-anaknya selama bertugas ke luar negeri. Dia telah menjalankan tugas sebanyak dua kali di luar negeri, penempatan pertama adalah di Canberra, Australia, dan penempatan kedua adalah di New York, Amerika Serikat. Selama bersekolah di luar negeri, anak-anaknya merasa nyaman dan sangat bersemangat untuk bersekolah. Meskipun tugas-tugas yang diberikan gurunya memiliki bobot cukup berat, namun anak-anak membuat tugas sekolah dengan riang gembira. Ia menyimpulkan, cara penyampaian guru di sekolah berperan penting untuk membuat anak bersemangat belajar. Namun sayangnya, di Indonesia masih sulit untuk menemukan guru yang benar-benar mencintai pekerjaannya sebagai pengajar.

Untuk menghindari terjadinya gegar budaya, para diplomat seringkali tetap menyekolahkan anaknya ke sekolah internasional, meskipun telah kembali ke tanah air. Namun hal ini juga menimbulkan konsekuensi lain, yaitu biaya sekolah yang berkali-kali lipat dibandingkan dengan sekolah umum.

Untuk menyiasati hal ini, Seto Mulyadi menawarkan pilihan lain selain sekolah internasional, yaitu home schooling. Dalam home schooling, kurikulum diciptakan sedemikian rupa, sehingga mengikuti kebutuhan masing-masing anak.

Home schooling memiliki kelebihan, yaitu perhatian individual pada masing-masing anak, mengajarkan anak lebih mandiri, kreatif, bisa dilakukan pada anak berkebutuhan khusus, membuat anak jauh dari pergaulan negatif, siap untuk kehidupan nyata dan kegiatan yang lebih fleksibel,” kata Seto Mulyadi yang kesemua anaknya menjalani pendidikan home schooling.

Mengenai ijazah resmi dan paket kesetaraan, menurut Seto Mulyadi, siswa home schooling juga mendapatkan ijazah resmi yang telah diterima berbagai instansi resmi. “Saat ini lulusan SMA home schooling bisa diterima di universitas mana saja di Indonesia, kecuali Akademi Kepolisian yang masih belum menerima. Malah siswa home schooling lebih mudah diterima di universitas luar negeri daripada di dalam negeri,” tambahnya.

Satu hal yang perlu diingat dalam home schooling adalah peran orang tua, yang bukan berperan sebagai instruktur anak, tetapi sebagai teman untuk belajar bersama. Karena itu, yang dibutuhkan anak sebenarnya bukanlah orang tua yang benar-benar menguasai materi pelajaran, namun lebih kepada perhatian orang tua dalam mendidik anak.  Home schooling mengembalikan hakikat pendidikan anak yang sejatinya adalah kewajiban orang tua, bukan serta merta diserahkan kepada institusi pendidikan yang belum tentu mengerti akan kebutuhan masing-masing anak.

Link Terkait:

Sistem Penjurusan SMU Memberatkan Siswa

Tussie Ayu

A freelance writer, a news correspondent, a Master of Communication student in Victoria University of Wellington.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *