Oleh: Tussie Ayu

Saya sungguh berharap musim panas sebenarnya segera hinggap di Berlin. Hari ini adalah Minggu, 14 Juni 2009. Saya mendapatkan harapan akan hari yang hangat. Saya ingin sinar matahari menggantikan angin utara yang tidak bersahabat.

Ketika meninggalkan apartemen, saya mendapatkan harapan itu. Cahaya matahari bersinar cerah. Tapi saya tidak mau terlalu berharap, karena hujan bisa datang dalam sekejap. Cuaca di kota ini sungguh tidak bisa diprediksi. Bulan Juni seharusnya menjadi milik musim panas. Tapi selama satu minggu saya di Berlin, matahari tak kunjung datang.

Saya dan teman-teman melenggang ke stasiun kereta bawah tanah U-Bahn terdekat, stasiun Osloer Strasse. Dari Osloer Strasse, kami berhenti di stasiun Herman Strasse. Perjalanan kembali dilanjutkan hingga tiba di Ostbahnhof Station, stasiun kereta terbesar kedua di Berlin.

Untunglah matari sangat bersahabat kali ini. Baru kali ini saya berhasil berjalan-jalan hanya dengan kaus oblong. Pemandu kami hari ini adalah Nisha Anders. Nisha membawa kami untuk melihat sisi lain tembok Berlin yang jauh berbeda dari yang ada di pusat kota Berlin.

Tembok Berlin yang sebelumnya saya lihat berada di dekat Checkpoint Charlie. Tembok itu berdiri angkuh, dingin, mencekam dan misterius. Tapi ternyata ada sisi lain dari wajah tembok Berlin. Tembok berlin yang berada di dekat Ostbahnhof ini sangat ceria dan penuh warna. Hampir seluruh permukaannya dipenuhi grafiti karya seniman dari seluruh dunia. Saya sibuk mengagumi gambar-gambar di tembok besar itu, hingga akhirnya saya menyadari, ada hal lain yang juga menarik.

Di balik tembok itu ternyata ada sebuah sungai! Sungai berair biru itu tidak terlalu besar, lebarnya hanya sekitar 20 meter. Namun saya tidak bisa memperkirakan panjangnya, karena sejauh mata memandang sungai itu terus mengalir. Nama sungai itu adalah Spree.

Di ujung sungai Spree, mata saya terhenti pada sebuah jembatan tua. Bangunan ini membelah sungai. Aliran Spree mengalir di sela-sela kakinya. Jembatan ini berwarna merah bata, dengan dua menara beratap lancip di ruas-ruasnya. Jambatan ini mengingatkan saya pada kastil pangeran di cerita Cinderella yang saya baca ketika bocah.

Saya bertanya pada Nisha, apa nama jembatan itu? Nisha menjawab, “We call it  Oberbaumbrücke. Brücke means a bridge, so Oberbaumbrücke is Oberbaum Bridge.”

Oberbaumbrücke (Image by: M. Kuhn on Flickr)
Oberbaumbrücke (Image by: M. Kuhn on Flickr)

Nisha lalu mulai bercerita. Seperti rakyat Jerman Timur, Oberbaumbrücke juga menyimpan kejayaan dan kepedihan masa lalu. Jembatan ini dibangun selama dua tahun. Kemudian pada tahun 1896, Oberbaumbrücke pertama kali dibuka untuk umum. Pada tahun 1902, segmen pertama sistem kereta api U-Bahn dibuka melintasi Oberbaumbrücke.

Namun kegagahan dan kejayaan tidak terlalu lama dirasakan Oberbaumbrücke. Ketika Jerman menjadi musuh dunia pada Perang Dunia II, Oberbaumbrücke turut merasakan kepedihan. Pada April 1945, Wehrmacht (angkatan bersenjata Nazi-Jerman) meledakkan Oberbaumbrücke di tengah-tengahnya. Hal ini dilakukan untuk menghentikan Red Army (tentara Uni Soviet) melintasinya.

Kemudian ketika perang berakhir, Berlin dibagi menjadi empat sektor: sektor Amerika, Uni Soviet, Inggris dan Perancis. Oberbaumbrücke ternyata melintasi sektor Amerika Serikat dan Uni Soviet. Hingga pertengahan tahun 1950, pejalan kaki, pengendara motor, dan tram masih diperbolehkan menyeberangi jembatan ini tanpa kesulitan.

Namun ketika Tembok Berlin dibangun pada 1961, kesulitan mulai menghadang. Pada awal tahun 1963, Oberbaumbrücke hanya boleh dilintasi oleh pejalan kaki yang berasal dari Jerman Barat.

Oberbaumbrücke pernah menjadi saksi perjuangan warga Jerman Timur yang ingin melarikan diri. Tak sedikit orang yang nekad berenang melintasi Sungai Spree untuk mendapatkan hidup yang lebih baik di Jerman Barat. Berhasil berenang sejauh 20 meter tidak menjamin akan selamat, karena tentara-tentara Uni Soviet siap menembak siapa saja yang kedapatan berusaha untuk lari dari Jerman Timur.

Ketika Tembok Berlin dihancurkan pada 1989, era reunifikasi Jerman dimulai. Oberbaumbrücke kembali didandani. Arsitek Spanyol Santiago Calatrava merancang tiang baja di tengah-tengahnya yang pernah dihancurkan ketika perang. Oberbaumbrücke akhirnya kembali dibuka untuk umum pada 9 November 1994. Jalur kereta api U-Bahn pun dibuka kembali satu tahun sesudahnya.

Dan kini, saya berdiri disini. Saya melintasi Oberbaumbrücke dengan bebas. Memandangi aliran sungai di kaki-kakinya. Menikmati sistem transportasi U-Bahn yang sungguh membuat saya jatuh cinta. Dinding-dindingnya masih kokoh, warna dan bentuknya masih sama seperti foto 100 tahun lalu yang saya lihat di internet. Syukurlah angin perubahan telah datang. Syukurlah selalu ada akhir dari segala pertikaian.

100_0937
Entering Oberbaumbrücke

***

Cerita Terkait:

Tussie Ayu

A freelance writer, a news correspondent, a Master of Communication student in Victoria University of Wellington.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *