Oleh: Reza Reflusmen
Hari-hari berikutnya di Jurnal Nasional berlalu dengan duduk di depan Tussie yang serius, dan seringkali terlihat jutek. Dia kerap datang sore-sore dari liputan TNI. Wajahnya tampak berminyak. Saya sering melihat dia merogoh kapas dan face oil cleanser dari laci mejanya. Meski wajahnya selalu tampak serius, tapi saya merasakan bahwa ia juga bisa asyik.
Saya ingat pertama kali chatting dengan Tussie, padahal kami duduk saling berhadapan, ya..dengan dibatasi dua monitor flat screen. Saya pikir dia hanya bisa diajak bicara serius. Tapi ternyata kata-kata yang sering muncul di jendela Yahoo Messenger itu adalah hihhii…, hehehehehe…., he3x…, :)), hahahha…, dan semacamnya. “Wah, ini anak kok becanda melulu siy?”.
(Selanjutnya setelah pacaran kadang saya suka kesal karena saat ingin bicara serius, dia hanya cengengesan, senyum-senyum. Katanya biar ngga stress. Itulah sifatnya Tussie).
Tapi saat udah pacaran kalau saya becanda disaat dia serius, dia bisa marah. Sebel. Karena merasa ngga ditanggapi. Padahal saya begitu biar ngga stress. Hehehehe….
Kalau Tussie udah marah, nah itu kabar buruk. Bisa-bisa sehari ngga bisa ditegur. Tapi hari berikutnya, ajak bicara lagi, dan kami mulai me-review apa yang salah, apa yang ngga disuka, dan setelah itu “cinta bersemi kembali”.
Setelah beberapa saat mengenal Tussie, ia tidaklah selalu jutek itu. Dia punya senyum yang manis. Selain itu, dia ternyata pemakan segala. Omnivora. Tak boleh lengah dengan makananmu, pasti tanpa tedeng aling dia akan makan. Tussie ngga jaim dengan makanan. Beberapa kali dia dengan senang hati memakan nasi goreng yang kutawarkan, meskipun sebenarnya penawaran itu hanya sekedar basa-basi khas Indonesia.
Lalu, kalo udah urusan ngatain orang, Tussie juga punya bakat. Dia pintar sekali cari kata-kata buat ngatain. Saya cuma berpikir dia harus hati-hati. Jangan sampai ngatain dengan niat becanda, malah jadi bikin orang salah menerima.
Sisi lain yang saya perhatikan adalah Tussie kukuh dalam mempertahankan pendapatnya. Selama itu benar menurutnya, logis, maka itu adalah yang benar. Dia kulihat cukup keras dalam mempertahankan apa yang ia yakini. Jangan lawan Tussie dengan cara yang sama dengannya, keras. Itu kesimpulan yang saya ambil dari pengamatan saya.
Di luar gayanya yang bisa serius dan tidak, bakat terbesarnya, sampai saat ini yang saya rasakan, adalah menulis. Kecerdasannya terlihat dari gaya tulisannya. Caranya menulis berbeda dengan gaya menulis di koran-koran lain. Saya tak mau membandingkan kemampuan saya menulis dengannya. Saya pikir, mungkin dia memang terlatih di kampus. Beda denganku yang boleh dibilang “kecemplung” di dunia jurnalistik.
Saya sering mengamati tulisan-tulisannya di koran. Meskipun tak setiap hari saya baca beritanya, tapi setiap saya membaca berita yang dia tulis saya merasakan bahwa gayanya menulis memang lain. Bahkan bila dibandingkan tulisan wartawan KOMPAS sekalipun, tulisannya tetap lain. Saya pernah menulis namanya di google. Ada beberapa link yang berkaitan. Tapi yang menarik adalah tulisannya di blog. Blog itu unik. Saya suka caranya bercerita. Ide-ide dalam kepalanya bisa mengalir dalam tulisan. Bukan salah kalau dia jadi wartawan karena memang ia pandai mengolah ide dalam tulisan.
Tulisan-tulisan Tussie terangkai dengan sangat baik. Dia bikin saya iri dengan kemampuan menulisnya. Beberapa tulisan tentang pendaki TNI bernama Asmujiono atau tentang Tan Malaka, hasil ngobrol-ngobrol dengan Harry Poeze, diceritakan dengan menarik. Saya bandingkan dengan tulisan yang sama di koran lain, tulisan Tussie di koran membawa pembaca seperti membaca cerpen.
Silahkan masuk ke blog Tussie di tussieayu.multiply.com atau www.tussieayu.blogspot.com