Oleh: Reza Reflusmen
Kalau saya tak salah, saat itu hari Kamis. Saya memilih rute jalan yang berbeda dari biasanya. Seperti biasa, karena saya tak mengenal daerah Rawamangun dengan baik, saya berangkat lebih pagi. Tahu saja, lalu lintas Jakarta tak pernah bersahabat bagi penduduknya. Jadi bila ingin sampai tujuan tepat waktu, berangkatlah jauh-jauh sebelum waktu yang direncanakan. Beruntung bila tetap bisa tiba tepat waktu di tengah lalu lintas kota yang bagai hutan rimba, tak ada aturan.
Mulai hari Kamis ini, tempat kerja saya berbeda. Saya tak lagi menempuh perjalanan ke wilayah selatan kota Jakarta. Kini saya harus berjalan ke timur Jakarta. Jurnal Nasional di daerah Rawamangun adalah tujuan saya.
Setelah gonta-ganti angkot, dengan peluh yang seperti biasa mengucur dari badan, saya tiba di gedung empat lantai ini sebelum jam 9, sebelum waktu janji dengan Pak Agus –staf HRD- tiba. Setelah menunggu beberapa saat, saya dan lima orang reporter baru naik ke ruang redaksi. Kami berkenalan dengan beberapa reporter, dan beberapa orang lainnya.
Sebagian besar wajah-wajah baru yang kutemui sepertinya sebaya denganku. Hmmm…mungkin ini akan jadi pengalaman yang baru, mungkin menyenangkan, bekerja dengan kolega-kolega yang masih seumuran. Oh iya, di antara wajah-wajah baru yang kutemui, ada Tia, kenalan sejak di kampus dulu.
Kami para reporter baru berkumpul di ruang rapat (sepertinya itu ruang rapat). Kami duduk mengelilingi meja oval yang bila dilihat dari fisiknya, masih baru, gres. Beberapa kursi yang ada di sana pun masih terbungkus plastik. “Sampoerna boss,” setidaknya itu kata Mas Anton, sesama reporter baru yang duduk di sampingku. Pasti semua tahu Sampoerna, si penggede rokok. Mungkin uangnya tak ada seri, jadi mendanai perusahaan media cetak, pastilah bukan masalah, begitulah pikirku.
Beberapa saat menunggu, akhirnya kami “anak baru” ditunjukkan tempat duduk. Saya duduk di samping Tia, persis. Jadi karena Tia sudah kukenal, dia yang saya ajak bicara. Karena tadi banyak sekali yang kusalami, jadi saya tak hapal langsung nama-nama mereka. Jadi kugambar kotak-kotak menyerupai denah lantai itu. Saya tulis di kotak-kotak itu nama orang-orang yang kusalami. Sambil sesekali saya bertanya ke Tia, siapa yang duduk di situ, sini, sana, dll.
Mungkin saat itu sudah siang atau sore, saya lupa, datang seorang reporter. Saya belum mengenalnya. Rambutnya panjang. Kalau tak salah, dia memakai baju merah. Kami berkenalan. Namanya Tussie. Nama yang tak biasa. Lebih terdengar seperti Lusi atau Susi. Nama lengkapnya Tussie Ayu Riekasapti. Nama yang bagus walaupun saya hanya tahu arti nama tengahnya.
Tussie ternyata juga kuliah di Unpad. Dia teman baik Dita Astari, rekanku semasa SMA. Mereka juga kuliah di jurusan yang sama, Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM). Saya pernah beberapa kali bertemu Dita di kampus dan sepertinya saya pernah berkenalan dengan beberapa mahasiswa FIKOM. Tapi tak sekalipun saya mengenal Tussie saat kuliah.
Tussie..hmmm..dia manis. Rambutnya panjang. Posturnya semampai. Namun saat pertama bertemu dengannya, kesan pertama yang kutangkap adalah mukanya yang jutek. Judes. Sepertinya waktu itu bukan waktu yang tepat untuk mulai berteman dengannya. Saya menangkap bahwa saat itu dia sedang ngga mood. Hfff….kapan-kapan kali saya ngobrol dengannya, pun kotak-kotak denah ini belum selesai.