Oleh: Reza Reflusmen
Vancouver, 14 Desember 2008
Aku buka pintu geser di teras lantai dua. Aku tahu apa yang ada di luar, karena teras itu tertutup kaca tembus pandang. Aku buka pintu itu untuk merasakan udaranya. “Srekkk…”, pintu itu aku geser sampai habis. Langsung saja aku merasakan dingin. Tak hanya di wajah, dingin itu seperti masuk ke tulang.
Dingin yang seperti ini baru pertama kali aku rasakan. Definisi dingin ini jauh berbeda dengan yang biasa kita kenal di Jakarta. Inilah musim dingin yang sebenarnya, musim dingin dengan salju.
Salju pertama yang aku sentuh, salju pertama di Vancouver tahun ini. Di luar pintu itu, semua terlihat putih. Atap-atap rumah di sekitar wisma ini juga jadi putih tertutup salju. Puncak-puncak pohon berhias bunga es. Pohon-pohon berdaun putih. Putih, juga karena salju.
Aku pegang salju itu dengan tangan terbuka. Awalnya, aku pikir salju akan terasa seperti bunga es di kulkas rumah opa. Opa punya satu kulkas uzur yang menghasilkan bunga es. Tapi ternyata salju lebih dingin daripada bunga es di kulkas rumah opa.
Aku lemparkan sedikit es yang kugumpalkan di tanganku. Kurang dari satu menit, tanganku terasa beku. Jari-jari mengeras. Tubuh tropis ini belum tahan dengan dinginnya es. Aku langsung masuk ke wisma dan menyiramkan air hangat ke tangan beku ini.
“Apa rasanya ya orang yang hipotermia? Apa rasanya frostbite? Apa rasanya terperangkap salju di kutub sana?”
Hari ini, 14 Desember 2008, aku menyentuh salju untuk pertama kali. Kalau tulisan ini dibaca lagi di masa nanti, pasti akan konyol sekali. Inilah kisah norak manusia tropis melihat dan merasakan salju pertama.
Malam tadi, salju turun cukup lebat. Aku mengintip dari jendela, angin meniupkan salju ke ranting-ranting pohon, atap-atap rumah, hingga seluruh kota berselimutkan jubah putih. Sesekali salju berputar dan menari di udara. Malam tadi, salju membuat Vancouver lebih terang dari biasanya. Malam ini malam yang putih.
Aku nyalakan komputer untuk memeriksa suhu tadi malam. Suhu udara malam itu minus dua. Besok bisa jadi suhu akan menjadi minus lima atau minus delapan.
Pagi ini aku berencana untuk pergi keluar. Mudah-mudahan salju pertama ini tidak bikin aku terpeleset di jalan. Jalanan akan licin karena salju yang mencair meninggalkan es membeku. Itu yang berbahaya dan bisa membuat orang terjatuh.
Sesuai peraturan di sini, pemilik properti bertanggung jawab atas trotoar atau lahan publik yang ada di depan atau sekelilingnya. Trotoar memang merupakan milik pemerintah kota. Namun tanggung jawab untuk membersihkan salju adalah tanggung jawab si pemilik properti. Bila salju di trotoar tak dibersihkan dan ada kecelakaan, maka orang yang celaka berhak menuntut pemilik properti tempat terjadinya kecelakaan.
Meski halaman wisma tak ada trotoar, tapi aku tetap keluar untuk mencari garam karena jalan keluar di wisma tertutup salju. Garam? Ya, cara agar jalanan tidak licin ketika bersalju adalah dengan menaburkan garam di atasnya.
Tadi aku sudah keluar membeli sekotak besar garam. Bus yang tadi kutumpangi berjalan lebih perlahan daripada biasanya. Supir harus siaga penuh. Jalan lebih licin daripada saat hujan. Ceroboh sedikit saja dalam memutar kemudi atau pijakan gas yang tak cermat, alamat celaka bisa datang.
Tadi aku menapak trotoar lebih perlahan daripada biasanya. Sesekali aku rasakan es yang membeku di jalan. Licin. Mudah-mudahan sepatu yang aku beli bisa menjalankan kegunaan terbaiknya, menjaga aku dari licinnya jalan dengan karet-karet tebal di solnya.
Syukurlah tadi aku sampai di wisma dengan baik. Hanya sempat terpeleset kecil di trotoar, tapi tak sampai jatuh. Es-es di wisma sudah aku bersihkan dengan sekop yang ada di garasi. Garam sudah kutabur. Jalan masuk wisma sudah tak lagi licin.
Uhmmm…kapan-kapan kita nikmati salju ini bersama.