Oleh: Tussie Ayu

Pertemuan pertama dengan Reza, hingga kemudian kami memutuskan untuk menikah, mengingatkan saya pada pelajaran ekonomi semasa SMA. Pelajaran ekonomi kelas 3 SMA mengajarkan tentang teori ekonomi klasik, salah satunya adalah pemikiran Adam Smith yang paling terkenal :  ‘the invisible hand’.

Menurut Bapak Smith dalam ’the invisible hand’, tangan-tangan yang tidak terlihat akan mengatur kestabilan dan kemakmuran masyarakat. Smith menyebutkan pentingnya masyarakat yang stabil dan makmur tanpa perlu diarahkan oleh negara secara terpusat. Dengan sendirinya, tangan-tangan gaib yang akan berperan dalam pasar dan menciptakan kesejahteraan. Smith mengimplementasikan ‘invisible hand’ dalam ekonomi. Tapi saya juga menemukan ‘invisible hand’ dalam hubungan dengan Reza.

Sulit dimengerti mengapa pada akhirnya kami bisa bersama. Saya percaya, ada tangan-tangan tidak terlihat, ada tangan-tangan Tuhan yang akhirnya menyatukan kami. Tangan-tangan itu memainkan kami seperti boneka ventriloquist. Ketika suatu saat ada keinginan untuk menjauh darinya, saya seperti ditarik mendekat oleh tangan-tangan gaib. Pada akhirnya, tanpa banyak usaha, kami memang tidak terpisahkan.

Juga sulit menjelaskan mengapa kami menikah? Sepertinya kata untuk menjelaskan alasan itu tidak pernah terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tidak pernah disinggung dalam ejaan Van Ophuijsen, tidak digariskan dalam ejaan Soewandi, juga tidak pernah disebut dalam ejaan yang disempurnakan.

Tapi, apakah cinta perlu penjelasan?

***

Saya bertemu Reza Reflusmen Junior di Jalan Pemuda no. 34, Gedung Jurnal Nasional, lantai 4. Waktu itu hari Kamis, 1 Juni 2006. Saya baru saja pulang liputan dari Jakarta Convention Center, meliput peringatan Hari Lahirnya Pancasila. Seperti biasa, saya harus mencatat kata demi kata pidato Presiden SBY.

Saya liputan bersama Jan Prince Permata, yang saat itu menjadi senior saya di Jurnal Nasional. Sepulang liputan, saya menyetir mobil. Jan duduk di sebelah saya. Kami berdiskusi banyak hal tentang Pancasila, dasar negara ini. Perdebatan sampai pada suatu titik, sehingga saya mengatakan sesuatu yang bisa menyakiti pengagum Soekarno. Mohon maaf karena saya bukan fans Soekarno.

Mendengar pernyataan saya, Jan yang notabene adalah penggemar berat Soekarno, mendidih darahnya. Perdebatan kami menjadi ajang perang mulut. Di dalam mobil, kami adu pendapat dengan nada-nada sinis dan tinggi. Ini berlanjut sampai di halaman parkir Jurnal Nasional. Entah terlalu emosi atau memang musibah, sambil ‘bertengkar’ dengan Jan, saya turun dari mobil dan membanting pintu, hingga pegangan pintu mobil saya patah.

Jan langsung panik melihatnya. Dia merasa bersalah. Karena perdebatan tak penting ini, saya sampai mematahkan pegangan pintu mobil. Jan segera meminta maaf, saya pun jadi cengengesan. Kami kembali berdamai dan naik ke ruang redaksi, lantai 4.

Betapapun saya sudah tidak kesal dengan Jan, tapi saya tetap kesal karena pegangan pintu mobil saya patah. Ini berarti ada jadwal tambahan ketika weekend nanti : saya harus ke bengkel. Membawa kedongkolan, saya pun tiba di lantai 4, dan segera duduk di meja saya.

Uhm…ada yang berbeda ketika saya sampai di kantor. Persis di meja depan saya, ada seorang lelaki. Saya masih ingat, ketika itu dia memakai kemeja putih, sedangkan saya memakai baju merah. Saat melihatnya pertama kali, saya langsung tertarik pada matanya. Dia memiliki mata yang sungguh indah. Bulu matanya lentik dan alisnya tebal. Selain matanya, yang saya ingat pertama kali adalah kulitnya putih dan pipinya banyak bekas jerawat.

Laki-laki ini duduk bersama Grathia Pitaloka, teman saya sesama reporter. Dia sedang memegang kertas dan pulpen. Saya intip kertas di hadapannya. Ternyata dia sedang menggambar denah lantai 4, lengkap dengan meja-mejanya. Di atas meja-meja itu, dia menuliskan nama si empunya meja. Grathia membimbing pria itu untuk menulis dan menghafal nama-nama seluruh makhluk penghuni lantai 4.

Grathia, yang biasa dipanggil Tia, mengatakan pada saya,

“Tus, ini kenalin. Reporter baru.”
Lalu cowo itu mengulurkan tangannya pada saya sambil mengatakan,

“Reza. Tapi panggil aja RJ.”

Saya pun mengulurkan tangan saya, tersenyum, dan menyebutkan nama saya. Saya merasa saat itu sudah berusaha untuk bersikap seramah mungkin dengan reporter baru ini. Meski demikian, sepertinya sisa-sisa kedongkolan karena pengangan pintu mobil yang patah tidak bisa disembunyikan. Di kemudian hari RJ mengatakan, ketika pertemuan pertama itu saya terlihat jutek sekali.

Dengan sikap yang cuek seperti biasa, saya bertanya padanya, “Lo ngepain gambar-gambar denah gitu?”

Sambil cengengesan, dia menjawab, “Ini buat ngafalin temen-temen di sini,”

Uhmmm..saya langsung berpikir, he is so nice. Niat banget ngafalin nama-nama orang. Saya sendiri seringkali lupa nama orang, bahkan sesaat setelah saya berkenalan dengan orang itu.

Lalu obrolan kami berlanjut. Ternyata banyak simpul-simpul yang bertalian ketika berbicara dengannya. Rupanya, RJ adalah teman SMA Dita Astari. Huh, what a small world. Dita adalah sahabat saya sejak kuliah di Jurusan Jurnalistik, Universitas Padjadjaran.

Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata RJ juga kuliah di Universitas Padjadjaran. Dia juga angkatan 2001, sama seperti saya. Tapi dia mengambil jurusan Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), sedangkan saya kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM), jurusan Jurnalistik. Kata RJ, selama kuliah dia sempat beberapa kali bertemu dan jalan dengan Dita. Mantan pacar Dita semasa SMA juga teman RJ.

Dita juga sempat mengenalkan teman-temannya di FIKOM pada RJ. Tapi entah kenapa, saat itu bukan saya yang diperkenalkan Dita kepada RJ. Saya juga mengenal beberapa anak HI Unpad, tapi entah kenapa, saat kuliah, sedikitpun saya tidak mengenal RJ. Padahal kampus FIKOM dan FISIP hanya berjarak beberapa puluh meter saja.

Usai berkenalan dengan reporter baru itu, saya  menyalakan komputer dan mengaktifkan yahoo messenger.

Ika Karlina Idris, sahabat saya yang juga reporter di Jurnal Nasional, ternyata sejak tadi memperhatikan saya yang sedang berbicara dengan RJ. Lalu dia mem-buzz jendela yahoo messenger saya.

ikot_ucul : Buzz!
ikot_ucul : tuss! Yang duduk di depan lo itu lucu! Namanya siapa?
tussie_aja : tadi udah kenalan sama gw siy kot…
tussie_aja : uhmmm…tapi gw lupa namanya…

***

Cerita terkait:

Tussie Ayu

A freelance writer, a news correspondent, a Master of Communication student in Victoria University of Wellington.

Recommended Articles

4 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *