Oleh: Tussie Ayu

Dalam hidup, saya punya beberapa kelompok bermain. Salah satu kelompok bermain saya yang asyik adalah geng Cisarua. Geng Cisarua adalah kumpulan wartawan amatir dan katro dari Jurnal Nasional. Kami kebetulan masuk di Jurnal Nasional sebagai angkatan pertama. Kami sempat bersama-sama mengikuti pelatihan jurnalistik di Cisarua, Puncak. Jadi kami sering menyebut diri sebagai Geng Cisarua, tapi nama lain kami adalah Geng (sok) Keren.

Akhirnya, tidak semua angkatan pertama bisa tetap sering hang out hingga sekarang. Dari 21 orang angkatan pertama, hanya beberapa yang masih sering berkumpul. Selain saya, anggota geng gosip ini adalah Meita Annisa, Okky Puspa Madasari, Grathia Pitaloka, Cininta Analen, Suci Dian Hayati, Dwi Fitria, Ika Karlina Idris, Januarti Sinnara Tjajadi dan Nunik Triana.

Kami adalah kumpulan cewe-cewe cerewet bersuara besar. Kami juga terkadang sok intelek dan sok feminis. Kami adalah perempuan-perempuan pemimpi, yang punya banyak kemauan dan selalu memiliki energi yang berlebihan (kecuali Cininta). Kesamaan-kesamaan dan kekacauan-kekacauan itu yang membuat kami selalu kompak.

Dalam urusan memilih lelaki, kami juga sangat cerewet. Satu hal yang kami sepakati, kami harus memilih lelaki yang mempunyai mimpi besar dan mau berusaha untuk menggapai mimpinya.

Hal ini juga yang saya lihat ada pada RJ. Sejak SMA, RJ punya mimpi untuk menjadi diplomat. Dia sudah memetakan jalan hidupnya, bahkan sejak remaja lain belum tahu akan menjadi apa kelak. Dia memulai perjalanan mimpinya dengan kuliah di Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran.

Selama menjadi wartawan, saya pernah liputan ke Kedutaan Besar Amerika Serikat, Kedutaan Besar Australia dan Perwakilan Uni Eropa di Indonesia. Saya pernah beberapa kali mewawancarai atau sekedar ngobrol dengan para diplomat dari dalam dan luar negeri. Percaya atau tidak, saya melihat ada embrio seorang diplomat dari dalam diri RJ.

Secara umum, para diplomat itu selalu bersikap ramah, tenang dan sopan. Diplomat juga punya satu ciri umum yang khas, mereka pintar sekali ngeles dari pertanyaan-pertanyaan tajam wartawan. Seburuk apapun hubungan Indonesia dan negara mereka, mereka selalu membuat seolah-olah “Everything is alright. Indonesia and my country have a long and strong relationship”.

Nah, semua tanda-tanda umum para diplomat itu ada di dalam diri RJ. Saya berani bertaruh, tidak ada pekerjaan lain yang lebih cocok buat RJ, selain menjadi diplomat.

Sekitar dua tahun kedekatan kami, sudah banyak yang terjadi. Perubahan terbesar adalah kepindahan RJ dari Jurnal Nasional. Beberapa bulan kemudian, saya juga keluar dari Jurnal Nasional dan pindah ke tvOne.

Akhir 2007, RJ mengikuti serangkaian tes di Departemen Luar Negeri. Tes pertama, tes kedua, tes ketiga dan tes keempat bisa dilewati dengan lancar.

Tapi tes terakhir adalah wawancara. Saya tahu benar bagaimana kualitas RJ. Saya yakin, dia bisa melewati tes-tes ini. Tapi ada satu kekurangannya yang saya khawatirkan. RJ seringkali kesulitan untuk menyampaikan apa yang dia pikirkan. Dia acapkali kesulitan untuk merangkai kata, sekedar untuk menyampaikan isi kepalanya. Dia berbicara dengan tidak terstuktur. Padahal bagi diplomat, tentu saja dibutuhkan kemampuan komunikasi interpersonal yang baik.

Malam sebelum tes wawancara, saya berakting layaknya Duta Besar Indonesia untuk Finlandia (malam itu cuma Finlandia yang terlintas di benak saya). Saya menanyainya tentang isu-isu hubungan internasional yang saya baca di koran. Betapa terkejutnya saya, ternyata RJ gelagapan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.

“Kamu tuh besok mau tes, kok aku tanyain begitu aja ngga tau siy?”
“Ganti aja pertanyaannya,”
“Tapi itu kan isu-isu internasional yang udah ada di koran-koran. Emangnya kamu ngga baca koran?”
“Baca, tapi aku ngga baca yang itu,”
“Ya udah, aku ganti ya pertanyaannya. Oiya, kamu tuh kalo ngomong yang terstruktur donk. Kamu mulai dari pokok pikirannya, terus kamu jelasin, kenapa kamu berpendapat seperti itu. Harus urut ngomongnya, jangan lompat-lompat,”
“Uhmmmmm….Yang…aku ngantuk. Aku mau tidur aja,”
“Apaan? Boong banget kamu ngantuk! Bilang aja kamu males belajar,”

Saya memang duta besar gadungan yang sangat galak. Malam itu ditutup dengan pertengkaran yang tidak selesai. Tapi kekhawatiran saya terbukti esok harinya. RJ diwawancara oleh tiga orang Duta Besar. Dan ini menjadi tes paling berat baginya.

Usai wawancara, dia datang ke kosan saya. Langkahnya gontai, wajahnya berminyak, rambutnya awut-awutan, jasnya sudah kusut. “Total mess!” Itu kalimat pertama yang dia ucapkan pada saya.

Dia belum makan siang. Saya lalu menemaninya makan siang di restoran A&W di Rawamangun. Beribu kata yang saya ucapkan tidak mampu mengobati kekecewaannya pada diri sendiri. Biasanya, RJ selalu bisa melahap dua porsi makanan. Tapi hari itu, tidak banyak makanan yang bisa melewati kerongkongannya. Mozza burger yang empuk, tebal, dengan daging asap crispy yang terselip di dalamnya terasa hambar. Langkah RJ sudah begitu lunglai. Dia menyangka impiannya menjadi diplomat semakin samar.

Tapi kegontaian itu segera terbayar tuntas pada 3 Desember 2007. Ketika itu, saya sedang berada di Bali untuk meliput United Nation Frameworks Convention on Climate Change (UNFCCC). Saya sedang mengetik berita di ruang pers. Lalu ada sebuah sms masuk ke HP saya. Isinya cuma satu kalimat.

“Ayang, aku lulus.”

***

Akhir Januari 2008, RJ menjejakkan kaki di Gedung Pancasila yang bersejarah di Jalan Pejambon. Lebih dari 6o tahun lalu, Radjiman Wedyodiningrat, R.P. Soeroso, Hibangase Yosio, Soekarno, Moh. Hatta, M. Yamin dan Wachid Hasyim pernah melangkah di gedung ini untuk meletakkan pondasi awal bangsa ini.

Mereka tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dan kemudian bermetamorfosis menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Mereka meninggalkan jejak bersejarah di gedung ini, yaitu Undang-undang Dasar 1945. Dan kini, RJ datang ke gedung yang sama sebagai calon diplomat.

One big step for his dream

Setelah mengikuti pendidikan di Sekolah Pendidikan Deplu (Sekdilu) selama hampir satu tahun, the new crème de la crème harus siap untuk magang selama 3 bulan di perwakilan Republik Indonesia di seluruh dunia. RJ ditempatkan di Vancouver, Canada.

Pada 28 Oktober 2008, RJ bertolak ke Vancouver.

***

Saya punya banyak cita-cita, dan setiap hari cita-cita saya semakin beranak-pinak. Jika saya berhasil meraih satu cita-cita, keinginan lain akan muncul, dan saya akan selalu sibuk untuk mengejar mimpi-mimpi itu.

Ketika memasuki tahun 2008, saya punya resolusi “harus bisa mendapatkan beasiswa, atau minimal fellowship ke luar negeri”. Sepanjang tahun itu, saya mengajukan tiga fellowship ke Jerman, Amerika, dan Italia. Tapi tidak ada satupun yang berhasil. Ketika memasuki tahun 2009, saya hampir saja putus asa pada cita-cita itu. Resolusi saya ketika memasuki tahun 2009 adalah “menjadi anak yang baik”.

Tapi Tuhan memang suka menguji kesabaran. Awal 2009, saya merasa sangat kesepian karena RJ masih berada di Vancouver. Saya mulai berpikir untuk mengejar mimpi 2008 yang belum selesai. Saya kembali mencari fellowship yang akan membawa saya ke Eropa, tanah impian.

Saya menemukan satu fellowship yang sangat saya butuhkan untuk mendukung pekerjaan saya saat ini. Short course itu bernama “Multimedia and Online Journalism”, diadakan oleh International Institute for Journalism of InWent yang berpusat di Bonn, Jerman.  Tapi kursus singkat ini akan diadakan di Berlin.

Kali ini, saya tidak ingin mengulangi kesalahan. Saya mengumpulkan semua berkas yang dibutuhkan dengan super teliti. Persiapan untuk melengkapi berkas-berkas itu tidak kurang dari satu bulan. Sepulangnya RJ dari Vancouver, saya meminta RJ memeriksa application letter saya berulang-ulang, hingga saya pikir application letter itu sudah sempurna.

Setelah saya yakin semua sudah sempurna, saya lalu menyerahkan berkas-berkas itu ke Kedutaan Jerman di Jakarta, sekaligus tes wawancara. Saya berangkat dari kantor 1,5 jam sebelum waktu wawancara yang ditentukan. Saya pikir semua sudah sempurna dan berjalan sesuai rencana. Ternyata Tuhan masih mau bermain-main dengan saya. Tuhan tidak akan memberikan kenikmatan semudah itu, masih harus ada drama yang harus dilakoni.

Ketika sedang menyetir sendiri ke Kedutaan Jerman, tiba-tiba kaca pintu mobil saya lepas dari rel-nya. Saya tidak bisa memarkir mobil dengan kaca yang tidak bisa ditutup, saya juga sudah tidak bisa kembali ke kantor atau kosan untuk memarkir mobil. Saya hanya punya waktu sekitar 30 menit lagi sebelum waktu yang ditentukan untuk tes wawancara.

Yang terpikir saat itu adalah memanggil bantuan “911”, yaitu RJ. RJ saat itu sedang berada di kantornya di Pejambon. Saya meminta dia untuk datang dan mengambilalih mobil saya. Dia benar-benar menjadi dewa penyelamat saya. Entah bagaimana caranya, beberapa menit kemudian kami sudah bertemu di Bundaran HI. RJ langsung mengantarkan saya ke Kedutaan Jerman, dan membawa mobil saya.

Saya tiba di Kedutaan Jerman tepat waktu dan tes wawancara berjalan lancar. Sore harinya, RJ mengantarkan mobil saya ke kosan dengan kondisi sudah “sehat”.

Sekitar satu bulan kemudian, saya menerima surat di e-mail saya. Surat itu datang dari Berlin, yang menyatakan saya diterima sebagai satu-satunya peserta dari Indonesia dalam “Multimedia and Online Journalism Course”.

One big step for my dream

Pada 5 Juni 2009, saya bertolak ke Berlin, Jerman.

***

Cerita terkait:

Tussie Ayu

A freelance writer, a news correspondent, a Master of Communication student in Victoria University of Wellington.

Recommended Articles

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *