Oleh: Tussie Ayu
Sabtu, 28 Februari 2009. Sore yang redup. Awan kelabu bergumpal-gumpal di angkasa, menyembunyikan matari dari keganasannya. Namun, tak ada setitik pun hujan yang jatuh. Sore itu, Saya dan RJ berjalan-jalan mengisi perut di Senayan City. Saya memesan okonomiyaki tuna kesukaan saya.
Ketika sedang menyumpit okonomiyaki dan menjejalkannya ke dalam mulut, RJ tiba-tiba mengatakan sesuatu yang hampir saja membuat saya tersedak.
“Yang, kamu mau kita nikah kapan?”
Meskipun saya tahu RJ akan menanyakan hal ini pada saya, tapi tetap saja saya terkejut ketika dia benar-benar menanyakannya. Tapi dengan berpura-pura tetap tenang dan tetap memakan okonomiyaki, saya menjawab,
“Emang kamu udah bilang sama orang tua kamu?”
RJ lalu menganguk pelan.
Saya bertanya kembali.
“Mereka bilang apa?”
“Mereka bilang terserah kita mau nikah kapan. Orang tua aku ngikutin kita aja. Katanya kita mulai aja nyicil-nyicil nyiapinnya.”
“Ooo..” kata saya. “Uhmmm… Aku mungkin ngga bisa jawab sekarang. Karena aku harus nanya dulu sama keluarga aku. Emang kamu maunya kita nikah kapan?” saya balik bertanya pada RJ sambil mengunyah okonomiyaki.
“Kayaknya abis lebaran aja. Kan ngga terlalu buru-buru tuh. Nanti kalo udah tau kira-kira mau kapan, aku dateng ngelamar kamu. Kita dari sekarang udah nyicil-nyicil aja, mulai nanya-nanya gedung, terus gimana adat melamar di keluarga kamu, terus tentuin tanggal, terus berapa yang mau diundang,”
“Tunggu yang…tunggu dulu,” kata saya dan berhenti memakan okonomiyaki.
Tiba-tiba saya pusing memikirkan betapa banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum menikah. “Kayaknya kita pikirin lamaran dulu deh. Soal yang lain ntar aja.”
Lalu saya kembali menyantap okonomiyaki sambil berpikir. “Hah? Apakah gue akan menikah tahun ini?” Sebenarnya saya memang ingin menikah, mengingat umur sudah semakin memanjat naik. Tapi ketika hal itu datang, rasanya seperti tidak nyata.
Saya lalu menyusun rencana di otak saya. Mungkin besok saya akan membicarakan hal ini pada mama. Lalu mama pasti akan mengembangkan senyum dengan lebar. Karena dia sesungguhnya sudah menyuruh saya menikah sejak lama, dan dia sudah merindukan cucu.
Dari Senayan City, RJ mengantarkan saya pulang. Di rumah ada papa dan mama sedang menonton tv. Saya dan RJ lalu bergabung menonton tv. Tiba-tiba, seperti sudah mendapatkan wangsit, mama bertanya pada RJ.
“Jadi kalian berdua rencananya gimana ke depan?”
RJ lalu melirik pada saya, dan mencolek-colek kaki saya. Saya pura-pura mati rasa dan seperti tidak tahu ada yang mencolek. Saya tetap menonton tv, dan membiarkan RJ kebingungan menjawab pertanyaan mama. Saya pura-pura tidak mendengar.
Rasanya seperti ada di ruang ujian, dan seorang teman meminta contekan. Saya tidak berusaha membantu RJ menjawab pertanyaan. Saya membiarkan dia menjawab sendiri soal-soal ujian itu.
RJ sepertinya menyadari kalau saya memang tidak berniat membantunya menjawab pertanyaan mama. Karena mulut saya tetap tertutup dan tidak ada tanda-tanda akan bersuara.
RJ terdiam sesaat. Lalu dia menjawab,
“Justru sebenarnya saya yang mau nanya sama Om dan Tante. Kalau di keluarga ini, gimana adat melamarnya? Saya sudah bilang sama keluarga saya. Keluarga saya bilang, terserah saya mau menikah kapan. Tapi saya juga mau tahu gimana adat melamar keluarga Om dan Tante.”
Senyum mama lalu benar-benar mengembang seperti di bayangan saya sebelumnya. Lalu pembicaraan-pembicaraan tentang pernikahan mengalir dengan deras. Mama kemudian mengambil buku catatan. Tebak apa yang mama lakukan? Mama bertanya tanggal lahir dan nama lengkap RJ. Mama akan melaporkan nama lengkap dan tanggal lahir kami berdua pada kakak mama yang tertua, yang tinggal di Kepanjen, pedalaman Malang sana. Saya memanggil kakak mama yang tertua itu dengan sebutan “Papi”. Papi sangat pintar menghitung hari baik menurut tanggalan Jawa.
Primbon rules begin!
***
deg..deg..an dong..he..he..