Oleh: Tussie Ayu

Alkisah, saya memang sudah cukup lama menjomblo. Sebenarnya teman-teman sudah sering menjodohkan saya dengan cowo ini dan cowo itu. Tapi entah kenapa, tidak ada satu pun yang pas.

Rhama Deny, adalah salah satu teman yang paling getol menjodohkan saya. Deny adalah reporter senior di Jurnal Nasional. Dia adalah laki-laki paling cerewet yang pernah saya kenal.

Berbulan-bulan sesudah pertemuan pertama saya dengan RJ, kami melanjutkan hidup sebagai teman. Kami bukan teman yang terlalu dekat. Walaupun tempat duduk kami sangat berdekatan, kami lebih banyak berbicara melalui jendela yahoo messenger daripada berbicara langsung. Padahal posisi duduk kami sudah saling berhadapan, tapi kami lebih senang berbicara melalui chatting. Ini memang cara berkomunikasi yang aneh.

Suatu hari yang tenang, tiba-tiba Deny mengatakan pada saya,

“Tus, klo sama anak kantor ini, lo mau ngga?”

Saya tergelak mendengar pertanyaan Deny. Saya pikir, biasalah…Deny memang suka asal. Kalau boleh memilih, sebenarnya saya tidak suka terlibat percintaan dengan teman sekantor. Saya senyum-senyum saja. Saya pikir, Deny must be kidding me!

“Emang sama siapa?” tanya saya.
“Ada. Niy orang gw liat anaknya baik. Cocok sama elo tus.”
“Iye, siapa?”
“Uhmmm…tuh, yang duduknya di depan lo!”

Saya tidak tau harus bereaksi seperti apa ketika itu. Antara pengen senyum-senyum sendiri, malu, dan salah tingkah. Karena tidak ada satu pun di kantor ini yang menarik perhatian saya, kecuali cowo yang duduk di depan saya itu. God, You must be kidding me! Bagaimana mungkin Deny bisa membaca pikiran saya?

“Ah Den, dia bukannya udah punya pacar?”
“Kagak. Udah putus katanya. Udah, lo sama dia aja!”
“Masa siy? Serius lo, dia udah putus sama pacarnya?”
“Iyeee!!!” kata Deny dengan suara toa-nya.
“Tau dari mana lo?”
“Yeee…anak-anak juga semua udah tau,”
“Emang kapan putus sama pacarnya?”
“Udah lama kayaknya, sebulan apa dua bulan gitu.”
“Hmmmm…gitu ya? Yah kalo gitu, lo ngomong dulu lah sama dia. Kenapa ngomongnya sama gw duluan?”
“Ya udah, entar gw bilang deh sama dia.”
“Tapi jangan bilang lo udah ngomong duluan ama gw.”
“Iye…iye..”

Deny yang seketika menjelma menjadi Cupid, sang dewa cinta, siap menancapkan panah asmara. Beberapa hari kemudian, dia menghampiri RJ. Dia mengatakan hal serupa kepada RJ, seperti yang dia katakan pada saya.

Berdasarkan keterangan RJ belakangan, Deny tiba-tiba nyamperin RJ. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa pilih-pilih tempat dan suasana, Deny langsung ‘nembak’ RJ. Saya juga tidak tau, apa memang karena disuruh sama Deny atau karena kerelaan sendiri, tapi setelah pembicaraan itu akhirnya RJ benar-benar mendekati saya.

Suatu malam minggu, ada telepon dari nomor tak dikenal. Entah kenapa, saya sudah yakin, pasti itu telepon dari RJ. Dan ternyata benar, RJ menelepon dari Bandung. Waktu itu, RJ dan keluarganya sedang jalan-jalan ke Bandung. Dia menggunakan ponsel ibunya untuk menelepon saya (dasar ngga mau rugi). Pertanyaannya juga basa basi banget.

“Tuss, ada nomernya humas Depsos ngga?”
(Padahal semua orang se-kantor tau persis, saat itu saya liputan di Dephan dan TNI. Mana ada hubungannya sama Depsos?)

“Ngga ada. Gw kan ngga pernah liputan ke Depsos,” jawab saya sekenanya.
“Siapa yah yang liputan di Depsos?”
(Padahal semua orang se-kantor tau persis, saat itu yang liputan di Depsos adalah Mita).

“Mita yang liputan di Depsos,” jawab saya.
“Ada nomernya Mita ngga?”
“Ada. Ini nomernya ….”
“Ok, thanx ya. Lo lagi ngpain niy?”
(mulai deh PDKT. Udah ketebak niy jurusnya.)

“Lagi di rumah aja.”
“Ngga kemana-mana?”
“Ngga”
“Ngga ada yang dateng?”
“Siapa yang dateng?”
“Cowo lo kali?”
“Yeee…jelas-jelas gw jomblo”
(basa basi abisssss…padahal semua orang di kantor waktu itu tau, kalau saat itu saya jomblo)

Lalu dilanjutkan dengan beberapa pembicaraan tidak penting lainnya. Tidak perlu ditulis, karena benar-benar tidak penting.

***

Tahun 1427 Hijriyah sudah memasuki bulan Ramadhan. Pada tanggalan masehi, ini adalah Oktober 2006. Biasanya PNS dan pegawai kantor pos menikmati berbagai fasilitas di bulan Ramadhan. Pulang lebih cepat, kerja lebih santai, dan gaji berlipat ganda menjelang hari raya.

Tapi tidak demikian dengan saya. Pekerja media tidak mengenal tanggalan merah, tidak mengenal banjir, juga tidak mengenal bulan Ramadhan. Semua hari adalah sama. Begitu juga dengan hari itu. Seperti biasa, saya pulang liputan sekitar pukul 19.00 malam. Ketika saya sampai di pintu depan Jurnal Nasional, RJ dan Iwan Himawan sedang bersiap akan tarawih di gedung belakang Jurnas. RJ waktu itu berdiri di tengah jalan masuk. Saya dan tam-tam (nama mobil saya), sengaja pura-pura mau menabrak RJ. Waktu itu sebenarnya hanya iseng spontan saja, karena RJ dan Iwan berdiri menghalangi jalan masuk ke Jurnal Nasional. Ternyata keisengan saya ini semakin membuka jalan untuk lebih dekat dengan RJ.

Setelah memarkir tam-tam dengan baik di tempat parkir, saya lalu naik ke lantai 4. RJ lalu naik ke lantai 4 juga, dan duduk di tempat duduknya yang persis di depan saya. Lalu dia menghampiri yahoo messenger saya.

rjseapoc     : tuh…gw mo ditabrak…
tussie_aja     : oiya..sorry ya, ngga sengaja 😀

Diselingi obrolan ngga penting

Rjseapoc     : eh, udah makan malem blm?
Tussie_aja     : belom
Rjseapoc     : makan yuk
Tussie_aja     : makan dmn?
Rjseapoc     : deket-deket sini aja
Tussie_aja     : ayo

Kemudian kami makan di resto Sunda sebelah kantor. Di jendela yahoo messenger, RJ mengatakan akan menunggu saya di lantai 1. Hal ini selanjutnya kerap kami lakukan. Kami selalu makan berdua, tapi tidak pernah keluar bersamaan. Ini untuk menghindari gosip-gosip di kantor.

Jurnal Nasional adalah kantor yang penuh berisikan hantu-hantu gosip. Sedikit saja terlihat berjalan dengan cowo, sudah pasti jadi bahan omongan sekantor. Kami pikir, ini masih terlalu dini untuk menjadi konsumsi siluman-siluman gosip. Jadi lebih baik, cerita ini kami simpan dulu rapat-rapat.

RJ sudah turun ke lantai 1. Saya masih menunggu beberapa saat, agar tidak ada yang curiga bahwa kami akan makan bersama. Sembari menunggu waktu, saya chatting dengan teman saya yang lain. Tapi parahnya, saya sering lupa waktu kalau sedang chatting. Hingga sebuah sms dari nomor asing mampir ke HP saya.

Isinya : gw udah nunggu di lantai 1.

Ooops…pasti ini dari RJ. Tapi kenapa dia mengirim sms dari nomor tak dikenal? Ya sudahlah, saya segera turun ke lantai 1 dan menghampirinya.

“Hi je, yuk…makan. Eh, lo tadi sms pake nomer siapa?”
RJ dengan wajah bingung menjawab,
“Yah pake nomer gw.”
“Oh…”

Oooppss…saya langsung mengubah topik pembicaraan dan berjalan ke resto Sunda. Usai makan malam dengan RJ, saya memeriksa HP saya. Dan ternyata saya memang belum pernah menyimpan nomernya di phone book HP saya.

***

Setelah kejadian ini, hampir tiap malam kami makan berdua. Mulai dari sekedar makan pecel lele di angkringan deket kantor, rawon yang kurang bumbu, Java’s Kitchen, kwetiau PSP, hingga pesta kepiting di Sarang Kepiting. Kami berdua menjadi tim kuliner yang hebat.

Saya benar-benar menikmati masa-masa itu. Berbeda ketika saya dekat dengan cowo-cowo lain sebelumnya. Dulu, jika sudah “dekat” dengan seorang cowo, saya selalu merasa ingin cepat-cepat ditembak. Saya selalu ingin cepat-cepat jadian dan berdebar-debar menunggu si cowo menyatakan cinta.

Tapi kali ini berbeda. Saya sangat menikmati masa-masa PDKT dengan RJ. Saya sama sekali tidak memancing-mancing RJ untuk segera menyatakan cinta. Tidak juga berdebar-debar dan menenebak-nebak, kira-kira kapan dia akan meminta saya menjadi pacarnya?

RJ membuat saya begitu nyaman untuk menikmati masa-masa menjadi Bondan dan Gwen Winarno itu. Bertualang seantero Jakarta setiap malam, untuk sekedar melatih lidah dan memenuhi mulut kami dengan makanan-makanan baru.

Semua berjalan begitu cepat, hanya sekitar 3 – 4 minggu, hingga kami tiba pada malam itu. Selasa, 10 Oktober 2006. Rupanya, itu adalah hari di mana radar intuisi saya sedang rusak dan tidak berfungsi. Saya tidak melihat gelagat apapun yang berbeda dari RJ. Semua berfungsi semestinya. Hari itu tiada hujan ataupun badai, alam tidak berbahasa dan menunjukkan pertanda. Bumi dan segala isinya seperti sudah sepakat dengan RJ untuk menyimpan kejadian yang akan datang. Semua berjalan seperti biasa, dan mungkin memang begitulah seharusnya.

Ketika itu, kami sedang malas untuk berpetualang kuliner. Kami makan di tempat biasa saja. Di resto sunda sebelah kantor. Makan ayam bakar dan sayur asem. Resto sunda ini sebenarnya cukup nyaman, tapi saya paling tidak tahan dengan nyamuknya. Drakula-drakula kecil di sana benar-benar haus darah.

Namun demikian, akhirnya kami betah ngobrol ngalor ngidul hingga satu jam lamanya. Saya kemudian sudah tidak bisa mentolerir keberadaan serangga-serangga menyebalkan itu. Saya lalu mengajak RJ untuk kembali ke kantor. Tapi RJ diam saja, seperti tidak mengerti kalimat yang saya ajukan. Saya lalu mengajaknya sekali lagi.

“Je, ayo,” kata saya seraya mengangkat pantat dan siap hengkang.

RJ kembali diam. Mimiknya berubah 180 derajat. Dia memamerkan wajah super serius, bagai laksamana TNI yang sedang berhadapan dengan tentara Malaysia di Ambalat. Siap memuntahkan rudal kapan saja. Dan saya adalah kapal Malaysia, target dari rudal itu.

“Tussie, ada yang mau gw omongin,” katanya.

Ngiung…ngiung…ngiung…radar intuisi itu baru berfungsi kembali. Dia meraung-raung keras untuk memperbaiki kerusakannya. Radar berharap raungan itu belum terlambat, tapi tentu saja ini sudah terlambat!

No!!! jangan nyatakan cintamu disini. Tidak disini, RJ! Tidak di resto sunda yang penuh dengan serangga-serangga penghisap darah ini. Seandainya saja radar intuisi sudah berfungsi sejak beberapa jam sebelum ini, tentu malam ini saya akan mengajak RJ berpetualang kuliner di tempat yang sepantasnya. Ah…tapi…apakah ini memang yang semestinya? Harun Yahya mengatakan, tak ada satupun kejadian di dunia yang terjadi secara kebetulan. Berarti memang tempat ini yang memang ditakdirkan Tuhan untuk menjadi saksi…agh…haruskah di sini? Dari sekian banyak tempat romantis di Jakarta, haruskah di sini?

Saya lalu terdiam pasrah, lemas. Saya siap mendengar kata demi kata yang akan meluncur dari mulutnya. Entah kenapa, saat itu RJ bermetamorfosis menjadi Cinta Laura versi lelaki. Dia berbicara dalam Bahasa Inggris, yang sesekali diselingi dengan bahasa Indonesia. Mimik mukanya konstan dan super serius.

“We all know, that we’ve been so close lately. And I think, I feel so comfort when I’m with you. So, I want to ask you some questions. May we continue this relationship in more serious way? Boleh ngga kalo gw lebih deket sama lo lebih dari saat ini?” katanya.

“Sorry ya kalo gw jadi serius gini. Ngga tau kenapa, kalo ngomong soal beginian, gw selalu gini,” ujarnya dengan wajah serius. Kali ini dia lebih mirip Vladimir Putin dalam pidato kenegaraan.

Saya masih belum bisa terlepas dari rasa shock. Mungkin ini PDKT paling cepat yang pernah saya alami. Sebenarnya, tidak sulit untuk menjawab pertanyaan RJ. Karena sejak pertama kali saya melihatnya, sudah ada chemisty yang berbeda. Dan chemistry itu masih terus saya rasakan.

Yang membuat saya sedikit cemas malam itu, bukan cuma karena serangan umum mendadak, bukan hanya karena tempat yang tidak romantis. Tapi sebenarnya, karena masih ada trauma yang belum pulih. Meskipun sudah lama menjomblo, tapi di hati saya masih ada luka besar yang menganga. Luka yang ditinggalkan oleh laki-laki lain yang sangat sulit disembuhkan. Sejak mendapatkan luka itu, saya sudah berjanji pada diri saya sendiri. Saya tidak mau menjalin hubungan lagi, kalau bukan hubungan yang serius.

Saya tidak mau menjalani hubungan yang tidak berujung pangkal, lalu kemudian berhenti begitu saja. Hubungan seperti itu benar-benar melelahkan dan menyakitkan. Saya bukanlah seorang masochis. Saya tidak suka disakiti dan menyakiti diri saya sendiri. Daripada terjebak dalam hubungan serupa, saya memilih untuk tidak berhubungan sama sekali.

Saya juga tahu bagaimana perjalanan RJ sebelumnya. Dia berpacaran dengan teman sekampusnya selama 4 tahun. Lalu mereka baru saja putus sekitar tiga bulan sebelum kami dekat. Pada awalnya, saya tidak percaya hubungan saya dan RJ akan terjadi secepat ini. Bagaimana mungkin dia sudah melupakan kekasih yang sudah 4 tahun dipacarinya hanya dalam 3 bulan? Bagaimana mungkin dia bisa secepat itu berpindah hati? Bagaimana mungkin dia bisa sembuh secepat itu?

Well, itulah bedanya laki-laki dan perempuan. Laki-laki sangat mudah mengobati luka, they have a great self healing. Sedangkan perempuan, pada awalnya sulit sekali jatuh cinta. Namun, ketika sudah jatuh cinta, mereka akan tenggelam sedalam-dalamnya. Mereka membiarkan diri jatuh dalam kubangan cinta yang menghisap dan tidak berdasar. Tapi ketika disakiti, akan sulit sekali disembuhkan.

Perempuan harus berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkan dirinya. Begitu juga dengan saya. Saya berterimakasih pada Tuhan, yang telah memberikan saya kekuatan pikiran untuk selalu berpikir positif, sehingga saya tidak berlarut-larut dalam kesedihan.

Walau demikian, luka itu terkadang masih sakit. Dan itu membuat saya seringkali ragu untuk melangkah. Tuhan, tolong saya. Saya mencintai lelaki ini, tapi saya tidak ingin terjatuh dalam kubangan yang sama. Saya sangat takut jika lelaki ini akan menyakiti saya seperti yang sebelumnya pernah terjadi. Tidak ada jaminan apapun, bahwa lelaki ini berbeda dari lelaki-lelaki lain. Tapi saya tidak punya pilihan lain. Dialah satu-satunya laki-laki yang saya cintai.

Kami lalu berdiskusi panjang tentang hubungan. Saya lalu menyelami matanya dalam-dalam. Saya mencari-cari, adakah celah keraguan dalam kata-katanya? Tapi saya tidak menemukan celah itu. Mata ini sangat dalam dan tidak berdasar. Ketika memasuki mata itu, saya ingin tinggal di dalamnya. Saya merasa tidak bisa dan tidak ingin keluar.

Laki-laki ini memiliki satu hal yang tidak pernah saya jumpai pada lelaki lain. Dia selalu bisa membuat saya nyaman dalam berbagai situasi. Dia selalu menyakinkan saya, bahwa semua akan baik-baik saja. Dia membuat saya percaya, bahwa dia memang satu-satunya orang yang tepat buat saya. Saya tidak mengerti, dari mana dorongan itu berasal, hingga saya kemudian mengatakan,

“Ya udah,”
“Ya udah gimana niy maksudnya?”
“Yah gitu,”
“Bener niy?”
“Hehehe iya,” kata saya sambil mesem-mesem ngga jelas. Saya lalu mengajaknya kembali ke kantor.

Mata RJ masih nyalang. Bibirnya masih ingin bercerita. Tapi saya sudah melangkah, dan dia hanya bisa berjalan mengikuti saya. Lalu kami kembali ke kantor. Sesampainya di kantor, RJ menghampiri jendela yahoo messenger saya.

rjseapoc    : tussie, lo jangan bikin gw GR deh. Tadi itu maksudnya kita jadian kan?
Tussie_aja    : ya iyalah…

***

Cerita terkait:

Tussie Ayu

A freelance writer, a news correspondent, a Master of Communication student in Victoria University of Wellington.

Recommended Articles

6 Comments

  1. Tussie yang manis, cerita-ceritamu membuat aku jadi nggak ngantuk malam ini. Wow, romantis sekali. Aku jadi ingat masa-masa sekitar 1983-1988 (kamu baru lahir ya), ketika aku pacaran dengan isteriku. Tak ada internet maupun HP bahkan fix phone sekalipun, jadi hanya surat yang menghubungkan cinta kami. Saya kuliah di Bogor, sementara pacarku kuliah di Yogya, lalu berlanjut saya bekerja di pedalaman Sumatera Selatan dan dia bekerja di Jakarta. Sampai sekarang surat-surat itu masih tersimpan rapi.

    Yang aku kenang dari kalian berdua adalah saat tarawih di Jurnal Nasional. RJ waktu itu sudah jadi anak buah saya di JBS (konon singkatan dari Jurnal Budi Setyanto….) dan rajin menjadi makmum tarawihku bersama Iwan Himawan. Tussie juga cukup sering ikut tarawih kan….Aku rasa itu saat-saat pdkt kalian berdua. Agak nggak jelas buat saya ketika itu siapa mendekat siapa, tapi sekarang sudah jelas setelah saya membaca cerita demi cerita dalam blog ini. Aku dan Iwan selalu ngomongin kalian berdua seusai tarawih dan berharap kalian berdua menyatu dalam cinta. Alhamdulillah itu menjadi kenyataan. Tolong kalian jaga baik-baik cinta dan kasih sayang itu, karena tinggal itulah yang akan mengikat kalian ketika RJ tak lagi ngganteng dan Tussie juga tak semanis sekarang. Itu pula yang selalu mengawal perjalanan rumah tangga saya selama hampir 22 tahun ini.

    Saya sangat dekat dengan RJ, jadi saya sangat mengenal dia dan cara berpikirnya. Saya yakin insyaAllah dia akan menjadi suami yang baik bagimu dan bapak yang baik bagi anak-anak kalian

    Tussie dan RJ, selamat ya dan aku doakan kalian mampu membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah warahman. Sepertinya klise, tapi aku rasa itu doa terbaik yang aku bisa berikan buat kalian berdua.

  2. ah pak Budiiiii…jadi ketauan deh kalo sebenernya saya teraweh sambil ngegebetin cowo hahhaa..makasih bgt doanya pak..undangannya udah nyampe blm? dateng ya pak…

  3. Sudah sampai, makasih, dan InsyaAllah aku datang. Kalau nggak terlalu jauh sih aku sebenarnya pengin datang di akad nikah….tapi Bintaro jauh banget dari Bekasi, dan kebetulan minggu pagi itu aku ada acara lain…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *